Eksekusi Rp 4,4 Triliun, Jaksa Agung Kantongi Daftar Aset Yayasan Soeharto

Eksekusi Rp 4,4 Triliun, Jaksa Agung Kantongi Daftar Aset Yayasan Soeharto

Dhani Irawan - detikNews
Minggu, 06 Des 2015 12:02 WIB
Jakarta - Tak ingin berlama-lama menunggu penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kejaksaan Agung (Kejagung) bergerak untuk mencari aset-aset Yayasan Supersemar. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebut pencarian aset itu terkait hukuman yayasan bikinan Soeharto itu sebesar Rp 4,4 triliun.

"Kita sudah melakukan verifikasi. Ada berapa aset Supersemar yang sudah mulai kita melakukan apa itu pendeteksian dan sudah ada hasilnya," kata Prasetyo, Minggu (6/12/2015).

Meskipun begitu, Prasetyo menyebut bahwa yang melakukan eksekusi nantinya adalah pihak pengadilan. Nantinya pihak yayasan itu diharapkan membayar secara sukarela.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Supersemar itu putusan perdata, itu yang melaksanakan itu bukan kejaksaan, yang melaksanakan itu pengadilan, kita sudah berkoordinasi dengan mereka. Bahkan, kepala pusat pemulihan aset di sini sudah mulai melakukan verifikasi, untuk membantu itu, harapan saya tadinya pihak tergugat itu mau kooperatif, dan sukarela untuk memenuhi kewajibannya kalau tidak ya tentunya nanti kita tanyakan pengadilan seperti apa langkah selanjutnya seperti apa," papar Prasetyo.

Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi menyebut bahwa untuk masalah penelusuran aset Supersemar itu dilakukan oleh tim yang terdiri dari 3 bagian. Selain dari bidang Datun, ada pula dari Intelijen Kejagung dan Pusat Pemulihan Aset (PPA).

"Jadi kita ada kerja sama dengan intel sama PPA dalam penelusuran aset. Kejagung ini masih mempelajari dan menunggu. Nantinya sembari menunggu sana, kita juga bergerak dari 3 tim itu, kalau nanti sejauh mana aset sudah dapat atau bagaimana nanti langsung ke PPA," kata Bambang.

Namun sayangnya pihak PN Jaksel sampai sekarang belum menentukan sidang aanmaning. Aanmaning sendiri dilakukan dengan melakukan panggilan pada pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan. Apabila pihak yang kalah tidak hadir maka akan dipanggil lagi.

Namun apabila tidak hadir lagi maka hak tergugat untuk dipanggil gugur dan tidak perlu ada proses sidang peringatan. Kemudian ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada panitera atau juru sita.

Yayasan Supersemar sendiri didirikan pada awal tahun 70-an dengan tujuan sosial kependidikan. Namun dalam perjalanannya, dana yayasan itu diselewengkan.

Dari putusan Mahkamah Agung (MA) sendiri kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.

Namun dalam perjalanannya dana itu yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia diselewengkan. Setelah Soeharto tumbang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejagung menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Pada 27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.

Vonis ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada penggugat yaitu 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 atau sama dengan Rp 139.229.178.

Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar tetapi tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik itu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi.

Jaksa lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013. Ternyata di saat yang bersamaan Yayasan Supersemar juga melakukan PK. Namun MA memenangkan PK yang diajukan jaksa dan vonis itu diketok pada 8 Juli 2015.

Dari duit yang diselewengkan itu, berdasarkan putusan MA, kebocoran dana mengalir ke sejumlah bank dan juga perusahaan, yaitu: 

1. Bank Duta, kini menjadi Bank Danamon
2. Sempati Air3. PT Kiani Lestari
4. PT Kalhold Utama
5. Essam Timber
6. PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri
7. Kosgoro

Jumlah duit yang diterima beragam dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda yaitu:

Bank Duta menerima USD 420 juta, dengan rincian:
Pada 22 September 1990 sebesar USD 125 juta
Pada 25 September 1990 sebesar USD 19,59 juta
Pada 26 Desember 1990 sebesar USD 275,04 juta

PT Sempati Air menerima Rp 13 miliar
PT Kiani Lestari menerima Rp 150 miliar
PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung RedepHutan Tanaman Industri menerima Rp 12 miliar3
Kelompok Usaha Kosgoro menerima Rp 10 miliar 
(dha/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads