Jalan tersebut masih masuk dalam kawasan pecinan dan menuju kampung Menyanan Kecil. Hampir tidak terlihat ada bangunan masjid di sana, namun di ujung jalan di depan gang sempit ada papan petunjuk bertuliskan Masjid An Nur Diponegoro Menyanan.
Detikcom mencoba menelusuri asal suara azan tersebut dan menemukan bangunan masjid di sudut belokan. Bangunan tersebut selintas terlihat seperti musala kecil karena hanya ada tempat wudhu dan pintu masuk bangunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat siang hari lampu memang tidak dinyalakan dan dibiarkan cahaya matarahi menembus redup, namun warga sekitar dan beberapa pendatang tetap beribadah dengan khusyuk.
Sekilas tidak ada yang istimewa dari masjid tersebut selain menjadi satu-satunya tempat ibadah Muslim di kawasan Pecinan. Tapi ternyata ada sekelumit cerita mulai dari Pangeran Diponegoro yang mengaji di sana hingga kisah ditemukkannya lagi masjid itu.
Usai salat Zuhur, detikcom menemui Takmir Masjid Menyanan, Sumarno (43).Β Ia pun berkisah awalnya warga sekitar tidak tahu ada bangunan masjid di sana karena beberapa bangunan bertingkat milik pedagang Tionghoa sudah berdiri.
"Dulu di situ tertutup tembok, semacam mengapling tanah dengan tembok. Bangunan sudah ada di sana," kata Sumarno.
Sekitar tahun 1960-an ada tokoh masyarakat bernama Kyai Mashud meminta agar tembok yang masuk ke wilayah Kampung Menyanan Kecil itu dibongkar. Benar saja, di dalam sana ada Masjid kecil dari kayu yang luasnya hanya 4x4 meter.
"Menurut ceritanya, Kyai Mashud mendapat mimpi dan menemukan masjid setelah tembok dirubuhkan," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, banyak warga Muslim yang beribadah di sana, pemugaran pun dilakukan tiga kali. Pertama pemugaran dilakukan tahun 1965 kemudian di tahun 1990-an dan terkhir tahun 2013 lalu.
"Dulu ada beberapa peninggalan misal batu gambar keris dan lainnya. Saya tidak begitu tahu karena saya Takmir generasi keempat dan sekarang barangnya tidak ada," pungkas Sumarno.
Cerita lainnya yang berkembang, konon masjid tersebut digunakan Pangeran Diponegoro tahun 1800-an untuk bersembunyi dan mengaji dengan kyai-kyai tersebut. Oleh sebab itu dinamakan Masjid An Nur Diponegoro.
Bangunan tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, namun menurut Sumarno, pemerintahan kurang memberi perhatian sehingga warga melakukan pemugaran sendiri.
"Jamaahnya semakin banyak, tapi Pemkot tidak bertindak, jadi kami bangun," katanya.
Kini bangunan masjid sudah dipugar hingga luasnya memanfaatkan seluruh luas tanah yaitu 25x10 meter. Sementara itu pembangunan lantai dua sampai saat ini masih belum rampung.
Satu-satunya bagian yang masih utuh dari bangunan asli masjid yaitu atapnya. Meski ditinggikan dan diluaskan bangunannya, atap kayu tersebut tetap dijaga dan ikut ditinggikan.
"Yang tersisa atapnya termasuk bagian kayu penyangganya. Ukuran atap itu kemungkinan sama dengan luas bangunan asli," terang kakek dua cucu itu.
Kini masjid tersebut masih sering dimanfatkan terlebih lagi saat salat Tarawih. Namun jumlah muslim Tionghoa yang ikut beribadah sudah sangat jarang karena banyak yang sudah pindah tempat tinggal.
"Dulu banyak warga Tionghoa muslim yang salat di sini, tapi sekarang tinggal satu atau dua orang," pungkasnya.
Terletak di kawasan Pecinan ternyata membuat masjid tersebut menjadi rujukan warga yang melintas atau pekerja Muslim di sekitar Pecinan untuk beribadah. Alunan azan dan ayat Al Quran seolah kontras dengan suasana pecinan yang kental di sana.
"Warga di sini sangat toleransi, kok," tutup Sumarno.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini