Menjadi pramugari maskapai ternama memang terlihat glamor dan menyenangkan dari luar, namun belum tentu demikian yang sebenarnya. Pengakuan seorang mantan pramugari Singapore Airlines menyebar luas dan menjadi perbincangan karena dia menceritakan 'penderitaan' yang dialaminya.
Lewat blognya, mantan pramugari yang menyebut dirinya sebagai Hilary ini, menceritakan bagaimana dirinya kerap bekerja lembur, dilecehkan oleh penumpang dan menghadapi banyak godaan duniawi ketika menjalani pekerjaan yang dianggap glamor oleh orang awam.
"Sangat buruk hingga saya biasanya menangis sebelum penerbangan," tutur Hilary dalam blognya seperti dilansir media Australia, news.com.au, Jumat (8/5/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang saya sudah berhenti terbang, saya merasa seperti umur saya bertambah 10 tahun ... Setelah saya berhenti, orangtua saya memberi tahu bahwa saya menjadi diri saya lagi. Saya jadi tidak sering menggerutu, tidak cepat marah dan saya menjadi lebih baik," tulis Hilary.
"Saya punya hubungan benci tapi cinta dengan pekerjaan saya. Tidak diragukan, dari luar memang tampak glamor dan menyenangkan menjadi awak pesawat, Anda bisa belanja di Paris, pergi ke Amerika, sarapan di Tokyo dan makan siang di LA tapi pekerjaannya sulit. Kru benar-benar bekerja keras untuk uang!" imbuhnya.
"Anda bukan hanya pelayan di udara, tapi juga penjaga keselamatan, pembawa bagasi, bartender, tukang bersih-bersih toilet, polisi, babysitter, pembantu dan sebagainya. Masih panjang daftarnya. Banyak wanita tidak tahu ini sebelum bergabung dan mereka akan terkejut begitu mereka mulai bertugas," jelas Hilary.
"Saya menangis karena saya takut bekerja... jam kerja tiada akhir seperti Anda terus berjalan selama penerbangan ke London. Saya juga tidak ingin jauh dari keluarga saya," terangnya.
Kendati demikian, Hilary menyebut masih ada sisi positif yang didapatnya selama bekerja menjadi pramugari. Menghadapi penumpang yang sopan dan baik hati membuat Hilary tidak merasakan lelah selama bekerja.
"Terkadang penumpang sangat manis. Mereka akan membelikan makanan untuk awak seperti makanan ringan dan sebagainya dan hal-hal sederhana membuat kami sangat senang karena kami merasa seperti kami mendapat apresiasi," ceritanya.
"Terlepas dari sisi yang tidak begitu baik dari pekerjaan ini, saya sangat menikmati kehidupan sebagai pramugari selama 2 tahun. Gaji baik, makanan enak dari negara-negara berbeda, orang-orang yang saya temui dan pelajaran hidup yang saya dapat," imbuhnya.
Hal terakhir yang membuat Hilary memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai pramugari adalah gaji. Menurutnya, gaji pramugari Singapore Airlines tidak mengalami peningkatan signifikan dari bertahun-tahun lalu.
"Sekitar 30 tahun lalu, kru mendapat gaji SG$ 5 ribu (Rp 49 juta) setiap bulan. Sekitar 30 tahun kemudian, mereka hanya mendapat gaji minimal SG$ 3.300 (Rp 32 juta) per bulan. Pada bulan baik bisa mendapat SG$ 4.700 (Rp 46 juta) tapi mengapa 30 tahun lalu dan sekarang, awak mendapat gaji yang sama? Malah lebih sedikit sekarang sebenarnya," tanya Hilary dalam tulisan blog tersebut.
"Dan perusahaan terus menurunkan gaji, sangat tidak layak untuk terbang sekarang," tandasnya.
Pihak Singapore Airlines menolak untuk mengomentari hal ini.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini