Buku itu bertajuk "Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Edisi Revisi)" diluncurkan di Kantor CSIS, Gedung Pakarti, Jl Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Selasa (14/4/2015).
Hadir dalam peluncuran buku ini adalah budayawan Garin Nugroho selaku moderator. Ada pula Ketua MPR sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Direktur CSIS Rizal Sukma, Romo Franz Magnis-Suseno, pengusaha Sofjan Wanandi, dan banyak lagi.
Buku terbitan Mizan ini diulas dengan secuplik demi secuplik oleh Garin dan Syafii. Memang sengaja tak diulas panjang lebar, kata Garin, supaya bukunya dibaca dan diresapi. Namun pertanyaan demi pertanyaan yang merentang ke berbagai spektrum topik membuat dialog dengan tokoh yang akrab dipanggil Buya itu menjadi cair. Syafii juga mengatakan soal perbedaan politisi dan negarawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pentolan Tim 9 bentukan Presiden Jokowi itu lantas ditanya Garin soal kenapa Syafii tidak terjun ke dunia politik secara langsung, dan menjadi ketua partai saja. Toh Syafii juga sudah kaya pengalaman.
"Umur saya sudah tua, dan belum tentu juga saya berhasil di partai. Lebih baik saya mengurus Muhammadiyah yang tidak terlalu ada gesekan. Jiwa saya nggak tahan dengan gesekan. Itu kelemahan saya," kata Syafii yang merupakan mantan Ketua PP Muhammadiyah itu.
Soal keislaman yang menjadi tema besar, Syafii menyorot soal keterpecahan Sunni-Syiah yang kian terasa. Menurutnya, semua umat Islam harus kembali ke ajaran yang paling hakiki.
"Kalau anda ingin mandi air yang bersih, pergilah ke hulu, jangan ke hilir. Sunni-Syiah itu adalah hilir, bukan hulu, keduanya terbentuk oleh sejarah pertentangan politik Arab-Islam waktu itu," kata dia.
Zulkifli Hasan sekaligus mengucap selamat ulang tahun ke-80. Menurut Zulkifli, Indonesia butuh tokoh sekaliber Syafii.
"Buya kita yakini apa yang disampaikannya adalah untuk kepentingan jangka panjang, bukan jangka pendek seperti kita. Kami berharap Buya sehat terus," ucap Zulkifli.
(dnu/bar)