5 Kisah Derita Pilu ABK Myanmar di Benjina

5 Kisah Derita Pilu ABK Myanmar di Benjina

Hestiana Dharmastuti - detikNews
Jumat, 03 Apr 2015 16:36 WIB
5 Kisah Derita Pilu ABK Myanmar di Benjina
Jakarta - Praktik perbudakan yang dilakukan oleh perusahaan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang berafiliasi dengan perusahaan Thailand kepada ABK asal Myanmar menjadi sorotan internasional. Para ABK pun menumpahkan jeritan hati mereka.

Kasus perbudakan di Benjina menyebar ke seluruh dunia. Pertama kali kasus ini terkuak berdasarkan laporan investigasi kantor berita Associated Press "Are slaves catching the fish you buy?" pada 25 Maret 2015.

Dugaan pelanggaran HAM menyeruak di balik kasus itu. Para ABK diketahui bekerja keras selama 22 jam. Akibatnya, puluhan ABK meninggal dunia dalam setahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak hanya itu, ABK mengalami penyiksaan demi penyiksaan. Salah satunya, mereka yang jatuh sakit justru disetrum oleh algojo perusahaan. Penderitaan para ABK tidak hanya sebatas itu. Mereka juga tidak diberi gaji dan makanan yang manusiawi.

Namun pengakuan para ABK dibantah oleh Site Operational Departement Head PT PBR Hermanwir Martino. Ia mengatakan semua pemberitaan
Associated Press (AP) tidak benar mulai tentang jam kerja yang tak manusiawi, gaji yang tak dibayar, hingga masalah penyiksaan.


Berikut 5 penderitaan ABK WN Myanmar:



1. Kerja Keras 22 Jam

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan penjelasan kepada 27 anggota Komisi IV DPR soal kasus perbudakan sektor perikanan yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Terungkap, bahwa kasus perbudakan yang terjadi tak hanya penahanan ABK oleh perusahaan, juga perlakuan fisik yang melanggar aturan.

Kasus ini dilakukan oleh perusahaan asal Indonesia yang berafiliasi dengan perusahaan Thailand, PT Pusaka Benjina Resources (PBR), kepada ABK asing asal Burma, Thailand, Myanmar dan Kamboja.

"ABK itu dipekerjakan 22 jam, beberapa orang mengatakan itu adalah hal wajar, tetapi mereka dipukuli dan dipecut, Pak," ungkap Susi saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (1/04/2015).

Kasus perbudakan di Benjina sudah menyebar ke seluruh dunia terutama Amerika Serikat (AS). Pertama kali kasus ini terkuak berdasarkan laporan investigasi AP β€œAre slaves catching the fish you buy?" pada 25 Maret 2015. Dikhawatirkan dari kejadian ini produk perikanan asal Indonesia bisa saja diboikot negara-negara maju khususnya Amerika Serikat.

"Bila tidak bereaksi dunia mengira kita mengamini dan kita menyetujui perbudakan. Kita tidak boleh menghindar agar produk Indonesia tidak diboikot, Pak," imbuhnya.

2. Puluhan ABK Tewas per Tahun

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan data-data baru soal kasus perbudakan sektor perikanan yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Praktik ini dilakukan oleh perusahaan Indonesia PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang terafiliasi oleh perusahaan Thailand.

Di depan 27 anggota Komisi IV DPR, Susi sempat menayangkan film dokumenter berdurasi 5 menit soal investigasi yang dibuat AP dengan judul β€œAre slaves catching the fish you buy?" pada 25 Maret 2015.

"Kejadian Benjina kita sangat terpukul. Kita berharap solid menangani ini," kata Susi di Gedung Komisi IV DPR Senayan, Jakarta, Rabu (1/4/2015).

Susi mengatakan berdasarkan laporan yang diterimanya, setiap tahun puluhan pekerja Anak Buah Kapal (ABK) asing yang bekerja di PT PBR meninggal dengan berbagai sebab termasuk karena praktik perbudakan. Antara lain pemukulan, jam kerja yang melebihi batas kewajaran hingga 22 jam per hari, hingga penahanan.

"Ya kejadiannya seperti ini. Yang meninggal ada 20 sampai 30 orang setiap tahun dan saya nggak enak makan," jelas Susi.

Menurut Susi dari temuan lapangan, banyak ABK yang berada di dalam kapal-kapal Thailand bukanlah orang Thailand tetapi dari Kamboja dan Myanmar. Ia mengatakan biasanya orang Thailand tidak banyak berminat menjadi ABK karena risiko yang cukup besar.

"Pemerintah Thailand punya kebijakan tahanan menjadi ABK kapal karena tidak banyak orang Thailand yang mau jadi ABK. Selain tahanan, tenaga kerja ABK kapal Thailand itu dari Kamboja dan Myanmar," paparnya.

Susi menambahkan di Thailand jumlah ABK asing dari Myanmar dan Kamboja bisa mencapai 100.000 orang. Dari jumlah itu sebanyak 1.185 orang bekerja di Benjina. Mereka bekerja tanpa identitas resmi dari imigrasi yang dikeluarkan oleh Thailand.

"Mereka tidak punya dokumen imigrasi, dan tinggal sudah cukup lama di Benjina. Saya bicara ini slavery, aparat bilang tidak ada slavery. Memang kejadian seperti itu. Kita minta maaf kepada dunia," tutur Susi.

3. Tidak Digaji

Kapal-kapal eks asing Thailand yang beroperasi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, didominasi WN Myanmar berpaspor Thailand. Sebagian dari mereka ada yang mau bersuara soal dugaan perbudakan. Namun masih dalam suasana penuh ketakutan.

Tiga orang ABK asal Myanmar yang bisa berbahasa Indonesia kepada detikcom mengatakan, mereka merasa tersiksa saat bekerja. Ketiganya mengaku tidak diberi makan, bahkan tidak digaji selama bekerja.

"Tidak ada gaji. Makan saya minta ke kapal-kapal," terang ABK tersebut yang tak mau disebut namanya di sela-sela inspeksi tim KKP di Benjina, Kamis (2/4/2015).

Setelah mengumpulkan data dan keterangan, tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Satgas Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing memutuskan untuk memindahkan ABK dari Myanmar dan beberapa warga negara lain yang dipekerjakan secara tidak layak di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Dari 450 ABK yang terdata, 60 di antaranya menolak dibawa ke Tual karena belum mendapatkan gaji selama bekerja.

Pantauan di Benjina, Jumat (3/4/2015), dari perbincangan para ABK dengan translator yang dibawa Associated Press (AP), 60 ABK menolak untuk dipindahkan ke Tual. Mereka memilih bertahan di Benjina dengan alasan belum menerima gaji selama bekerja.

Belum jelas berapa jumlah gaji yang seharusnya mereka dapatkan. Masing-masing ABK menjawab dengan jawaban yang berbeda. Namun, menurut Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksda TNI (Purn) Asep Burhanuddin, rata-rata para ABK dari Myanmar mendapat gaji Rp 1 juta setiap bulannya.

"Warga Myanmar non Thai hanya Rp 1 juta, Indonesia Rp 1,5 juta, Thailand Rp 3 juta. Mereka berkumpul di Tekong, perjanjian hanya teken isinya kosong. Mereka sudah bermasalah, imigran gelap," jelas Asep setelah berbincang dengan 40 ABK.

Hingga saat ini, jumlah ABK yang akan dipindahkan ke Tual sebanyak 390 orang. Mereka bukan hanya berasal dari Myanmar, ada pula yang berasal dari Kamboja.

Salah satu ABK yang berasal dari Kamboja, Nan Lu, berhasil diwawancarai detikcom. Dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata, Nan Lu mengungkapkan bahwa dia sudah dipekerjakan di Benjina sejak berusia 17 tahun. Awalnya, dia berniat untuk bekerja di Thailand, tapi kapal yang ditumpanginya malah membawanya ke Benjina.

"Saya sudah 3 tahun di sini. Saya mau pulang, mau ketemu mama papa saya," kata Nan Lu.

4. Sakit Malah Disetrum Algojo

Para ABK yang dipekerjakan PT Pusaka Benjina Resources mendapat perlakuan yang sangat diskriminatif. Mereka bahkan tak jarang disiksa.

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Satgas Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing yang datang langsung ke Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, Jumat (3/4/2015) mewawancarai langsung sekitar 40 ABK dari Myanmar dan perwakilan perusahaan. Dari pengakuan para ABK, diketahui bahwa mereka sering mendapatkan siksaan.

"Bisa dikategorikan demikian (perbudakan). Saya tidak bisa mengatakan langsung perbudakan. Data dan
dari perlakuan ada diskriminasi, mungkin ya ada diarahkan ke sana. Dari data-data yang saya temukan kalau itu perbudakan benar," kata Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksda TNI (Purn) Asep Burhanuddin di Benjina.

Dengan penuh ketakutan, para ABK itu menceritakan perlakuan apa saja yang pernah didapat mereka. Ternyata, para ABK asal Myanmar itu juga pernah mendapat perlakuan keji.

"Sakit, dipanggilkan algojo untuk disetrum. Ketiduran diperlakukan tidak manusiawi. Dari sisi kemanusiaan mungkin ya," jelas Asep.

Asep menjelaskan, aksi perbudakan dan penyiksaan itu bisa terjadi karena Benjina merupakan daerah yang terpencil, sehingga sulit diawasi. Aparat kepolisian juga berada jauh dari kawasan Benjina.

"Dari sisi pengawasan di sini. Ini adalah remote area yang tidak terjangkau. Ini sudah terjadi puluhan tahun," ungkapnya.

Berdasarkan hasil temuan di lapangan itu, Asep dan tim memutuskan untuk memindahkan para ABK asal Myanmar menuju Tual sore ini. Para ABK memang mengungkapkan ingin segera meninggalkan Benjina dan kalau bisa ingin pulang ke Myanmar.

"Daripada mereka terancam. Aparat di sini kurang. Saya akan bawa sore ini juga ke Tual. Ditempatkan ke KKP. Di sini ada 22. Di kapal-kapal akan diambil. Mana dari Myanmar, Laos berapa. Nanti sore," tegas Asep.

Mendengar kabar akan dipindahkan ke Tual sore ini, para ABK nampak gembira. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senang akan segera meninggalkan Benjina.

5. Sakit Kelamin

Kehidupan para Anak Buah Kapal (ABK) di Benjina, Kepuluan Aru, Maluku, sangat keras. Mereka hidup di dalam kapal berbulan-bulan, melakukan seks berisiko, hingga kerap tawuran sesama ABK.

Cerita ini disampaikan oleh dua dokter yang bertugas di Benjina, dr Suryadi dan dr Kartika. Keduanya bekerja di klinik PT Pusaka Benjina Resources dan kerap menangani pasien ABK.

"Pasien yang kami tangani biasanya yang mabuk berat, berkelahi antar ABK, ada juga yang penyakit kelamin," kata dr Suryadi di sela-sela pertemuan tim Satgas Illegal Fishing dengan PT PBR di Benjina, Kamis (2/4/2015).

Penyakit kelamin itu diduga berasal dari perilaku seks bebas para ABK, terutama yang berasal dari Thailand, Myanmar dan Kamboja. Di sekitar pulau, Suryadi menyebut ada 'lokalisasi' tempat para ABK melampiaskan hasrat seksual setelah berbulan-bulan melaut.

"Mereka ada yang tidak sadar memakai kondom. Sehingga terjadi penyakit kelamin itu, padahal sudah kita kampanyekan," tambahnya.

Suryadi kerap mendengar cerita yang miris tentang perilaku seks para ABK. Dia menyebut ada sebagian ABK Thailand yang melakukan hal-hal ekstrem, namun berisiko terhadap kesehatan. Dia kerap mendapat temuan dugaan penderita HIV, namun penanganannya selalu diserahkan pada pihak berwenang di Tual atau Ambon.

"Kita tidak pernah diberitahu soal siapa yang kena AIDS, karena itu hak mereka. Kalau dugaan sih ada, tapi kita tidak tahu datanya," cerita Suryadi yang sudah enam tahun berdinas di Kepulauan Aru ini.

Kartika menambahkan, insiden perkelahian antar ABK kerap terjadi. Bahkan sampai ada yang berujung pada pembunuhan. Kebanyakan keributan dipicu setelah para ABK pulang melaut, lalu mereka mabuk-mabukan.

"Ada juga yang mabuk lalu jatuh ke laut akhirnya meninggal dunia," terang dokter cantik asal Ambon ini.

Site Operational Departement Head PT PBR Hermanwir Martino juga mengakui kerap terjadi keributan antar ABK. Beberapa kasus ada yang dilimpahkan ke kepolisian. Mereka yang meninggal dunia dimakamkan di pulau sebelah Benjina.

Para ABK yang melakukan tindak pidana ringan versi PT PBR lalu dimasukkan ke 'rumah detensi sementara' yang diklaim untuk memberi efek jera. Rumah itulah yang disorot media asing karena diduga sebagai penjara.
Halaman 2 dari 6
(aan/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads