Kapal-kapal yang diperiksa adalah Antasena-333, Antasena-349, Antasena-301, Antasena-817, Antasena-830 dan kapal pengangkut Golden Sea. Semua adalah kapal eks asing dari Thailand, sementara Golden Sea adalah kapal pengangkut milik perusahaan Thailand yang beroperasi ke Indonesia.
Pemeriksaan kapal berlangsung selama hampir empat jam. Seperti pemeriksaan sebelumnya, tim mengecek kelengkapan dokumen, mengukur penggunaan alat tangkap, mendata para ABK, hingga mengkroscek nomor mesin kapal dengan data awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari segi alat tangkap sesuai dengan yang tersebut dalam SIPI, tidak ada masalah. Yang jadi persoalan kapalnya karena sudah melaui Ditjen Hubla (Hubungan Laut Kemenhub) jadi transfer bendera Indonesia. Masalahnya adalah hampir seluruhnya 99,9 persen diawaki oleh WN Thailand, termasuk kurang lebih 70 persen WN Myanmar yang memiliki paspor Thailand," jelas Ida kepada detikcom di sela-sela anev di Benjina, Kamis (2/4/2015).
ABK WN Myanmar ini menjadi sorotan media asing karena diduga menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan. Namun pemerintah Thailand dan perusahaan sudah membantah.
Sesuai ketentuan di UU Nomor 45 tahun 2009, kapal berbendera Indonesia wajib memakai 100 persen ABK asal Indonesia. Sanksinya cukup tegas di aturan tersebut.
"Ini jelas tidak sesuai ketentuan UU harus 100 persen WNI," sambungnya.
Temuan lainnya, ada kapal Antasena-333 yang masih berisi ikan di dalam palkanya. Kepada tim Satgas, pihak perusahaan menyebut ikan itu belum sempat dipindahkan. Namun diduga kuat, ikan-ikan itu diambil selama masa moratorium ini diberlakukan. Sebab, ikan tidak bisa bertahan lama di dalam palka bila tidak diberi es.
Ida juga melihat Unit Pengolahan Ikan (UPI). Dari 12 cold storage, 75 persen berisi ikan yang siap dikirim ke Thailand. Ikan-ikan tersebut disebut Ida bukan hasil olahan, melainkan ikan utuh yang dikemas sesuai dengan jenis-jenisnya.
"Tim ini juga mengunjungi UPI, yang sudah tidak beroperasi namun di dalamnya terdapat mesin pengolah ikan buatan China. Menurut keterangan pejabat PBR, biaya operasional mesin china tersebut sangat besar, karena merupakan mesin kuno. Jadi tidak digunakan," jelasnya.
Sebagian ikan di PT PBR diolah hanya bagian isi perut, sisik dan kepala saja. Dengan pekerja 30 orang, ikan-ikan tersebut dibersihkan oleh ibu-ibu di sekitar lokasi.
"Jadi, kesimpulannya perusahaan bikin cold storaged hanya untuk transit ikan sebelum kapal pengangkut datang, tanpa pengolahan," jelas Ida.
(mad/fdn)