Laksmi Pamuntjak: Soal PKI, Saya Menulis Lebih Bebas daripada Pramoedya

Laksmi Pamuntjak: Soal PKI, Saya Menulis Lebih Bebas daripada Pramoedya

- detikNews
Kamis, 02 Apr 2015 15:28 WIB
(Foto: Iin Yumiyanti/detikcom)
Jakarta - Amba adalah novel pertama karya Laksmi Pamuntjak. Sebelumnya, ia menulis puisi, kumpulan cerita pendek, dan berbagai artikel tentang isu-isu aktual. Khusus tulisan-tulisannya tentang kuliner telah dibukukan hingga empat jilid dengan judul The Jakarta Good Food Guide.

Amba pertama kali ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul The Question of Red pada Oktober 2012. Pada Agustus nanti akan terbit dalam bahasa Belanda, Amba Of De Kleur Van Rood, dan sebulan kemudian Alle Farben Rot dalam bahasa Jerman. Novel tersebut akan disertakan dalam Frankfurt Book Fair, 14-18 Oktober mendatang.

Publik Jerman, khususnya media massa, memberi perhatian khusus pada novel berlatar peristiwa September 1965 itu. Di arena Leipzig Book Fair 2015, 12-15 Maret lalu, mereka secara bergilir mewawancarai Laksmi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kaget, saya tak berpikir akan sampai seperti ini. Luar biasa wawancara mereka terhadap saya," katanya kepada majalah detik.

Laksmi berharap Amba, yang menampilkan setting banyak wilayah, bisa memberikan gambaran Indonesia dalam segala kompleksitasnya sebagai bangsa yang luar biasa. Lantas, bagaimana dia mengidentifikasikan dirinya dengan Ayu Utami, yang lebih dulu dikenal internasional? Juga dengan Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari, yang sama-sama menulis tentang tragedi 1965? Simak petikan penuturannya berikut ini.

Anda pernah membayangkan Amba akan dikenal secara internasional?

Tentu saja saya tak punya pikiran menyanjung diri bahwa karya yang saya tulis bisa membawa nama Indonesia ke dunia internasional. Tapi, paling tidak, saya tahu saya telah mencoba menuliskan Indonesia dalam kemajemukannya tidak hanya di sisi sosial, paham, dan persentuhan, tapi juga sejarah modern Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun.

Saya rasa Amba cukup berhasil, paling tidak berusaha menampilkan setting Indonesia berbagai macam: Ambon, Kediri, Jakarta, dan Jogja. Mudah-mudahan, dari gambaran Indonesia dalam kurun waktu beda-beda, ada yang lumayan representatif.

Pers Jerman memberikan perhatian lebih pada novel Anda, Amba. Ketertarikan mereka menggambarkan apa?

Saya rasa itu menggambarkan semakin lama evolusi dari kehidupan manusia yang saat ini lebih tersambung dan terkait satu sama lain lewat social media. Lewat revolusi dunia digital, mereka tertarik pada tempat-tempat lain. Mereka ingin tahu negeri yang tidak dikenal atau budaya yang tak mereka kenal.

Β Mungkin kita ada yang bersungut-sungut soal efek media yang negatif. Tapi, di sisi lain, luar biasa sekali dengan media sosial ini. Kita bisa berkomunikasi dengan teman-teman di Indonesia, juga di luar negeri. Ada keterbukaan seperti itu sekarang.

Perasaan Anda atas respons publik tersebut?

Sangat senang sekali karena, meskipun saya suka dengan perlakuan komunitas sastra internasional terhadap saya, yaitu tidak mengotakkan saya sebagai orang Indonesia, karena orang itu punya banyak diri dalam dirinya, keragaman diri kita bisa ditampilkan. Jadi kita tak terbatas. Tapi, di saat yang sama, saya bangga Indonesia dilihat, orang asing tertarik pada Indonesia. Saya bangga sekali, saya terharu.

Artinya Indonesia mulai dianggap penting dan menarik?

Saya rasa begitu, ya. Ini baru awal-awalnya. Tapi mungkin (kalau dikatakan) penting, belum tentu. Menarik mungkin benar.

Apa bedanya memperkenalkan Indonesia lewat sastra ketimbang dengan cara lain?

Saya sempat menjadi konsultan seni rupa, itu juga cara memperkenalkan Indonesia, meskipun lingkup kerja saya lebih melihat ke dunia daripada melihat ke dalam. Lewat sastra, kita bisa bertemu dengan penulis lain. Saya sering sekali ke festival sastra sejak 2005. Entah mengapa saya tidak mengatasnamakan Indonesia. Jadi mereka lihat saya sebagai penulis tok. Sedangkan kalau akademis, saya dikotakkan sebagai penulis Indonesia, jadi keindonesiaan yang disoroti.

Kalau di festival sastra internasional, mereka tidak peduli kita dari negara mana. Yang dilihat adalah tulisan, bahasa, gaya, pengetahuan, dan wawasan kita oke atau tidak.

Kembali ke Amba, sebetulnya apa pesan yang ingin Anda sampaikan?

Sebenarnya saya tak melulu melihat Amba sebagai perempuan yang cerdas, mandiri dengan keinginan melihat dunia yang lebih luas, berani mendobrak konvensi tradisi. Tapi juga dia seseorang yang pada akhirnya menghormati tradisi dan budayanya sendiri sehingga, meskipun dia melakukan sesuatu yang luar biasa menyimpang dari konvensi, ia tetap ingin menghormati orang tuanya. Ia tidak ingin aib yang telah dimunculkan itu menyakiti orang yang dia sayangi, apalagi orang tuanya sendiri.

Meskipun menikah dengan laki-laki, ada bagian ia sebenarnya malu melakukan itu. Kalau ia lebih modern, ia bisa mengasuh anaknya sendiri, ia tidak perlu laki-laki. Tapi ia berpikir ada sesuatu yang dianggap patut atau tidak, dia bikin malu orang tua atau tidak. Masih ada pergulatan di dalam dirinya.

Apakah Amba merupakan representasi dari banyak perempuan Indonesia sekarang?

Saya rasa begitu. Saya kenal perempuan Indonesia yang, waduh, sangat luar biasa gagah berani, sangat berjiwa aktivis, selalu ambil inisiatif, tapi mereka tetap ingin menampilkan atau menonjolkan keharmonian keluarga dan menjunjung nilai-nilai yang baik.

Pesan itukah yang akan Anda sampaikan kepada dunia internasional?

Iya, seperti itu. Tentu saja Amba seorang yang terkungkung dalam konteks sejarah. Ini Amba kan cerita tahun 1944. Dengan apa yang bisa dilakukan perempuan sekarang kan beda juga. Tapi spiritnya sama. Dia ingin menuliskan nasibnya sendiri, ia bisa menulis ulang nasibnya sendiri, tak ingin menggantungkan nasib pada nama yang sudah diberikan.

Untuk karakter Dokter Bisma, yang berempati dan menolong aktivis kiri dan PKI, apakah Anda terinspirasi Doctor Zhivago atau lainnya?

Saya membaca novel itu tapi tidak dengan sadar mengikuti ceritanya. Ada beberapa hal yang menyebabkan dia menjadi seorang dokter.

Pertama, masuk akal pada 1950-an sebuah keluarga yang elite dan progresif ingin anaknya sekolah di luar negeri (menjadi) ahli hukum atau dokter. Kedua, memang dia punya jiwa besar ingin menyumbangkan sesuatu, karena itu juga bagian tradisi kelas itu di Indonesia. Konsep saat itu, kalau pergi ke luar negeri, harus menyumbangkan pengetahuan yang didapat di luar negeri untuk perbaikan Indonesia, negerinya sendiri.

Kebetulan Bisma ingin jadi dokter, tapi kemudian sikap terhadap profesinya sendiri makin menajam unsur kemanusiaannya ketika ia bertemu dengan Gerard. Temannya itulah yang memperkenalkan dia pada pikiran-pikiran kiri. Dia merasa, β€œSaya ini tidak sekadar jadi dokter, terampil, dan sebagainya.” Tapi, untuk menyembuhkan, membantu orang jadi sehat kembali, itu lebih dari sekadar profesi. Itu tanggung jawab kemanusiaan. Maka ia tak mau pulang dari Pulau Buru. Ia ingin membaktikan diri pada masyarakat sekitar yang membutuhkan skill-nya sebagai dokter.

Leipzig menjadi salah satu setting novel Amba. Anda pernah tinggal di kota ini?

Tidak. Saya banyak baca dari Internet, tulisan sastrawi soal Leipzig dan sejarah Leipzig. Jadi bisa saya bayangkan sedikit kira-kira seperti apa situasinya. Tapi, kalau Berlin, Belanda, itu semua bagian riwayat hidup bapak saya. Jadi sebenarnya cerita Bisma itu cerita bapak saya.

Bisma itu riwayat bapak saya sampai di bagian Berlin. Nah, Bisma ke Leipzig belajar (paham) kiri, sedangkan Bapak saya belajar arsitektur. Bapak saya bukan komunis, tapi antikomunis.

Apa yang membedakan Anda dengan Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari, yang juga menulis tentang tragedi PKI?

Pertama-tama, saya perempuan, jadi beda. Kedua, saya jauh lebih muda dan hidup di dunia yang berubah. Norma-norma kepatutan itu sudah banyak yang terdobrak. Saya merasa bebas saja menulis apa pun. Kalau mereka kan masih banyak pertimbangan. Tapi, tanpa mereka, saya tak bisa nulis. Mereka meletakkan dasar sastra kita. Sastra merupakan kontinuitas, selalu harus dilihat. Generasi ini saling mempengaruhi, akan selalu ada keterkaitan.

Apa perbedaan Anda dengan Ayu Utami, yang lebih dulu dikenal internasional?

Di mana saya berbeda saya tak tahu. Semua orang punya karakter masing-masing. Buku begitu banyak, sensitivitas sama, tapi kita pasti punya karakter masing-masing. Di mana saya ditempatkan, saya tak tahu, kan bukan saya yang pilih.

Setelah sukses Amba, apa langkah selanjutnya?

Novel (kedua) saya "Aruna dan Lidahnya" sedang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Kemudian saya mau nulis Srikandi. Tapi soal Srikandi ini semua masih dalam rencana.

Anda juga akan turut dalam Frankfurt Book Fair nanti?

Posisi saya lebih sebagai penulis Indonesia. Saya harus tampil dengan baik, harus bisa menunjukkan Indonesia dalam segala kompleksitasnya sebagai bangsa luar biasa.

Kita ini dikenal sebagai negara muslim terbesar. Islam kita Islam toleran, kita hidup dengan toleran. Kalau ada intoleransi, ada kekerasan, kita bingung, kok bisa? Karena kita pada dasarnya tidak seperti itu, kita tidak saling membenci terhadap perbedaan.

*) Wawancara ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 174, 30 Maret-5 April 2015


(iy/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads