Dalam sidang yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (2/4/2015) tersebut, awalnya saksi ahli yang bernama Muzakkir menjelaskan tentang mekanisme penggunaan pasal 77, 85 dan 92 KUHAP tentang wewenang praperadilan.
โ"Isi dan maksud lembaga praperadilan ini menguji suatu proses penyidikan dan akibat hukumnya. Adapun ketentuan KUHAP Pasal 77 itu mengacu kepada dua hal. Pertama pasal 77 tentang kewenangan yang menguji secara eksplisit dan pasal 82 serta 95 KUHP yang menguji secara implisit," jelas Muzakkir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saksi kemudian memberikan contoh saat dirinya menjadi saksi ahli dalam kasus beberapa waktu lalu. Dirinya mengkritik kinerja penyidik yang menyita barang milik tersangka tindak pidana korupsi. Saat itu penyidik tak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat penyitaan barang dan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
"Penangkapan, penahanan serta penyitaan adalah bagian dari upaya paksa. Sementara upaya paksa itu tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU. Akibat dari tindakan itu, akan menimbulkan kerugian pada pihak tersangka," jelas Muzakkir.
Dirinya juga menjelaskan mengenai Pasal 44 UU KPK yang menyatakan sebelum menetapkan tersangka, penyelidik harus menemukan sekurang-kurangnya dua alat buktiโ. Sementara, dua alat bukti ini berdasarkan tafsiran dari penyelidik.
"Dua alat bukti, menurut UU KPK berdasarkan keyakinan penyidik. Begitu pula pengadilan, harus memiliki keyakinan dalam memutus perkara, dan ketentuan tersebut tak tertulis dalam UU," jelasnya.
Sontak hal tersebut menimbulkan komentar dari hakim Tati. Hakim menilai, saksi ahli tak berwenang memberikan komentar terkait kinerja penegak hukum.
"โTidak semua penyidik amburadul, tidak semua penasihat hukum yang brengsek. Saudara tidak usah menilai kinerja penegak hukum lain," tegur Tati.
(rni/fjp)