Dalam pembacaan permohonan praperadilannya, salah satu tim kuasa hukum SDA yakni Humprey Djemat menyebutkan bahwa SDA merasakan adanya tekanan sosial yang dirasakan pasca dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
"Pemberitaan yang terus menerus dilakukan media massa, merupakan suatu bentuk tekanan sosial yang dirasakan oleh pemohon dan keluarga pemohon sehingga menyebabkan dampak psikologis terhadap pemohon dan keluarga pemohon," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan adanya pencekalan tersebut, pemohon dan istri pemohon mengalami kerugian yaitu kehilangan salah satu haknya sebagai warga negara Indonesia, padahal hak pemohon dan istri pemohon sudah dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945," jelasnya.
Kerugian juga dialami setelah penyidik KPK melakukan pemblokiran rekening bank atas nama SDA dan keluarganya. Dalam surat permohonan praperadilan, tertulis ada 16 rekening SDA, beserta istri dan anaknya yang diblokir pasca penetapan SDA sebagai tersangka.
"Akibat pemblokiran tersebut, pemohon maupun keluarga pemohon merasakan kerugian karena tidak dapat mengakses dana yang tersimpan di bank tersebut. Penetapan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan dilakukan secara melawan hukum, maka begitu pula dengan pemblokiran rekening bank yang dilakukan oleh termohon, baik terhadap rekening pemohon maupun keluarga pemohon," kata Humphrey.
"Memperhatikan kerugian-kerugian yang diderita oleh pemohon, maka sudah sepatutnya pemohon mendapatkan ganti kerugian setidak-tidaknya sebesar Rp 1 triliun," tuturnya.
Sementara itu, pihak biro hukum KPK menyatakan siap memberi jawaban atas permohonan SDA. Menurut mereka, tuntutan ganti rugi Rp 1 triliun dianggap prematur karena penyidikan terhadap SDA masih berjalan.
"Nanti akan kami jelaskan. Kalau pasal 95 ayat 1 KUHAP dilakukan setelah proses penyidikan dihentikan. Jadi terlalu prematur," kata kuasa hukum KPK Chatarina M Girsang sebelum persidangan kembali dimulai.
(rni/fjp)