Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Minggu (29/3/2015), tragedi Juki bermula terjadi keributan di depan Jalan KH Azhari, Kecamatan Seberang Ulu II, Palembang pada 11 Mei 2003. Keributan ini membuat seorang warga, Chandra tewas dan para pelaku kabur. Polisi lalu mencari pelaku bertahun-tahun lamanya hingga akhirnya mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan No Pol-SP-KAP /29/III/2007/SU.II tertanggal 17 Maret 2007 atas nama Marzuki alias Zili.
Anehnya, meski di surat tertulis Marzuki, polisi malah menciduk Juki yang akan melangsungkan pernikahan dengan dambaan hatinya. Di rumah calon mempelai perempuan telah terpasang tenda perkawinan, organ tunggal, makanan, catering dan ratusan undangan telah disebar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dapat dibayangkan betapa malu dan hancurnya perasaan pihak mempelai, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan atas tindakan yang tidak manusiawi," ujar Juki.
Meski Juki punya alibi kuat, tidak tanggung-tanggung jaksa menuntut Juki selama 11 tahun penjara. Tapi setetes keadilan mulai muncul saat Pengadilan Negeri (PN) Palembang membebaskan Juki dari semua dakwaan pada 2 Juli 2007 karena nyata-nyata tidak bersalah. Vonis itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi pada 24 Maret 2010.
Meski akhirnya bebas, tapi Juki telah meringkuk di dalam bui selama 248 hari tanpa dosa dan perkawinannya hancur berantakan.
Atas penderitaan itu, Juki lalu menggugat Polri dan Kejaksaan. Ia meminta ganti rugi materiil Rp 61 juta sedangkan ganti rugi immateril Rp 1 miliar karena malu dan hancur nama baiknya karena ditahan jelang perkawinan. Tapi apa daya, gugatan itu ditolak seluruhnya oleh PN Palembang pada 24 Januari 2012. Nasib Juki di tingkat banding pun serupa, Pengadilan Tinggi (PT) Palembang menolak gugatan Juki pada 7 Agustus 2012.
Nasib Juki tidak sendirian. Banyak Juki lain mengalami hal serupa di seluruh pelosok Indonesia. Berdasarkan pasal 9 ayat 1, PP Nomor 27 tahun 1983, negara hanya memberikan ganti rugi maksimal Rp 1 juta kepada Juki. Pasal itu berbunyi.
Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000 dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000.
Jaksa Agung Prasetyo mendukung untuk merivisi PP 27/1983 karena sudah tidak relevan, terutama nominal ganti rugi maksimal Rp 1 juta itu.
"Memang revisi perlu mengikuti perkembangan zaman, kan itu sudah bertahun-tahun," kata Prasetyo saat berbincang dengan detikcom, Minggu (29/3) pagi.
(asp/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini