"Harus ada sikap resmi MA terhadap gejolak di masyarakat tentang berbagai disparitas proses dan putusan-putusan pengadilan," kata Gayus kepada detikcom, Rabu (25/3/2015).
Gayus menilai setiap aparatur yang ditugaskan di MA harus bisa menjadi penggerak perubahan (agent of change) bagi kemajuan peradilan di Indonesia dan tidak diam saja menghadapi gejolak di masyarakat. Di mana rakyat Indonesia dibingungkan dengan berbagai isu tentang disparitas proses hukum di berbagai pengadilan-pengadilan jajaran di bawah MA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak hanya pimpinan MA, hakim agung dan hakim-hakim yang ditugaskan di MA, tetapi seluruh staf administrasi dan keuangan sebagai pemangku kepentingan, tidak bisa hanya membebankan tanggung jawab hanya kepada pimpinan MA," cetus Gayus.
Gayus mencontohkan MA saat dipimpin Harifin Tumpa pada 2009-2012. Harifin membuat Surat Edaran MA (SEMA) No 12 tahun 2010 tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi tertanggal 27 November 2010. SEMA ini ditujukan kepada seluruh pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia.
Di penghujung kepempinannya, Harifin Tumpa juga mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 2 tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan. Dalam Perma itu, Harifin memerintahkan tindak pidana ringan dengan nilai kerugian di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu ditahan dan dimasukkan delik tindak pidana ringan (tipiring). Perma itu untuk menyudahi kegaduhan kasus-kasus pencurian dengan nilai ringan seperti kasus Nenek Minah yang mengambil 3 biji kakau senilai Rp 5 ribuan atau kasus pencurian sandal jepit di Palu.
"Oleh karena itu perlu seluruh aparatur di MA menjadi penggerak perubahan," pungkas Gayus.
(asp/nrl)