"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 bulan. Menetapkan pidana penjara tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir," putus ketua majelis Enan Sugiarto dalam sidang terbuka untuk umum di Pengadilan Negeri Tegal, Jalan Mayjen Sutoyo No 9, Tegal, Jawa Tengah, Selasa (24/3/2015).
Penguasaan Mbah Meri atas barang-barang yang termasuk dalam pengertian bahan peledak menurut UU adalah diperuntukkan untuk pembuatan petasan yang sudah berlangsung lama dan turun temurun meneruskan usaha orang tua terdakwa karena di lingkungan terdakwa tinggal adalah daerah yang menghasilkan petasan. Hal tersebut dilakukan bersifat musiman saja yaitu menjelang hari Idul Fitri karena permintaan atas kebutuhan petasan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Mbah Meri tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang untuk itu baik untuk menguasai bahan-bahan yang termasuk bahan peledak maupun hasilnya berupa petasan tersebut. Dengan demikian PN berpendapat bahwa unsur ini menjadi terbukti.
"Hal yang meringankan yaitu terdakwa berusia lanjut, tidak pernah dihukum, berterus teras dan mengakui perbuatannya," ucap Enan yang didampingi hakim anggota Dian Kurniawati dan Guntoro Eka Sekti.
Atas putusan ini, Mbah Meri langsung mengangguk paham. Setelah itu ia mendatangi meja hakim dan membubuhkan cap jempol menerima putusan itu. Cap jempol dibubuhkan karena ia buta huruf dan tidak bisa memberikan tanda tangan.
Selain Mbah Meri, diadili juga 5 lansia dengan kasus serupa dan dijatuhi hukuman yang sama. Sebagaimana diketahui, warga Kemandungan, Kelurahan Pesurungan, Kecamatan Tegal Barat Kota. Desanya dikenal sebagai Kampung Mercon. Dari 3.563 jiwa warga, 70 persen memproduksi petasan menjelang lebaran.
(asp/asp)