Pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpi Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme pada Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam putusan itu, MK membatalkan UU itu dengan alasan tidak boleh UU berlaku surut.
Hal ini diminta diperhatikan oleh pengusul perppu ISIS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi jangan buat UU atau Perppu hanya untuk ditujukan menjerat 16 WNI yang sekarang ada di Turki, Perppu atau UU kan dibuat bukan untuk satu peristiwa konkret tetapi untuk umum dan peristiwa nya abstrak," sambung pengajar Universitas Jember itu.
Menurut Badrodin pembuatan Perppu itu bertujuan agar ada hukum yang jelas dalam melarang gerakan ISIS di Indonesia. Perppu itu perlu untuk menangani permasalahan adanya WNI yang bergabung dengan ISIS.
"Jadi Perppu ini dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas peristiwa serupa setelah diundangkannya perppu ini. Jadi tujuan perppu ini adalah menangkal bahaya gerakan terorisme model baru seperti ISIS atau lainnya," papar Bayu.
Bayu berharap perppu yang dibentuk atas dasar semangat memberantas terorisme yang dipicu kasus ISIS jangan mengulangi kesalahan UU nomor 16/2003 yang bersifat retroaktif.
"Tapi yang terpenting dikaji dulu, apakah benar perangkat hukum yang ada sekarang belum memadai, dan jika belum apakah tidak bisa melalui pembahasan perubahan UU prosedur biasa," cetus Bayu.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta pemerintah mengurungkan niatnya itu. Aturan soal jeratan hukum kepada WNI yang terlibat dalam aktivitas ISIS sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Bagi WNI yang berangkat untuk berniat bergabung dengan ISIS dan dikembalikan ke Indonesia serta mereka yang mendanai mereka yang akan bergabung dapat dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP," ujar Hikmahanto dalam keterangan persnya, Jumat (20/3/2015).
(asp/try)