Pasalnya, berbekal SK ini, kubu Agung Laksono berniat melakukan perombakan fraksi di DPR. Ia pun membandingkan kasus PPP Djan Faridz yang sudah menang di PTUN namun tak bersikap terburu-buru.
"Coba Anda lihat, PPP kubu Djan Faridz meski menang di PTUN, tapi kami (pimpinan DPR) nggak proses karena administrasi belum bisa dijalankan dan masih ada konflik," kata Fahri di Nusantara III, komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/3/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesimpulannya pemerintah melakukan interpretasi yang membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Tapi, dalam kasus PPP, Golkar itu jelas sekali negara menggunakan kewenangannya untuk interpretasi. Kenapa PPP (Djan Faridz) dipersulit, Golkar Agung Laksono dipermudah," ujar Wakil Sekjen PKS itu.
Lanjutnya, kata Fahri, Menkum Yasona juga mesti belajar dari kasus konflik PKB antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur. Saat itu, Menkum dijabat Yusril Ihza Mahendra dan berpendapat harus menunggu putusan inkrah.
"Seharusnya pengadilan dulu memutuskan baru pemerintah mengambil sikap. Ini pertama kali reformasi pemerintah aktif melakukan pembelaan terhadap suatu kelompok," sebutnya.
Upaya Menkum Yasona dalam kasus PPP dan Golkar disebut Fahri sebagai trend negatif.
"Sehingga yang dilakukan Pak Laoly ini adalah suatu trend negatif di dalam menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul," ujarnya.
(hat/erd)