Kasus bermula saat warga Surabaya, Cendekia Candra Negara, mendatangi kantor Limardi pada 12 Januari 2007. Candra meminta diuruskan surat keterangan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan (SK NJOP PBB) dan mentransfer Rp 180 juta. Dalam perjalanannya, proses ini mengalami permasalahan dan Limardi lalu dipolisikan.
Pada 25 Mei 2009 jaksa menuntut Limardi dihukum selama 18 bulan penjara. Hakim PN Surabaya pada 22 Juni 2009 menjatuhkan vonis 10 bulan penjara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, giliran jaksa yang mengajukan kasasi karena bidikannya meleset. Lagi-lagi putusan berbalik dan majelis kasasi mengembalikan putusan seperti putusan PN Surabaya. Pada 5 Juni 2012, majelis kasasi menyatakan Limardi melakukan tindak pidana membantu menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan dan dijatuhi 10 bulan penjara.
Giliran Limardi tidak terima dan mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK). Nah, di tingkat akhir ini, Limardi akhirnya benar-benar dinyatakan bebas.
"Dalam kasus a quo, terdakwa sama sekali tidak pernah memberikan sarana, prasarana, keterangan atau pun kesempatan kepada saksi Irfan Safitri dalam hal pengurusan dan pembuatan SK NJOP PBB in casu, karena yang bersangkutan adalah orang yang bekerja sesuai dengan bidangnya yaitu mengurus surat in casu," putus majelis PK sebagaimana dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Senin (16/3/2015).
Duduk sebagai ketua majelis Dr Imron Anwari SpN dengan anggota Prof Dr Gayus Lumbuun dan Dr Salman Luthan. Imron merupakan hakim agung yang juga mengambil S2 spesialis notaris. Dalam kasus ini, Salman memilih dissenting opinion dan menilai Limardi tetap bersalah.
"Tidak ada hal baru (novum) yang relevan dengan perkara a quo yang dapat membatalkan putusan judex factie dan judex juris," ujar Salman.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini