"Ya mengajukan saja dulu, karena penolakan di luar pemeriksaan itu melanggar undang-undang. Waktu juru bicara (jubir) MA itu bilang saya menentang karena tidak ada penolakan di luar peradilan, silakan tolak nanti," kata Gayus.
Hal ini disampaikan kepada wartawan di sela-sela Seminar Nasional 'Pemberian Hak Remisi dan Pembebasan Bersyarat', di Graha William Soerjadjaja, Universitas Kristen Indonesia, Jl Mayjen Sutoyo, Jakarta Timur, Kamis (12/3/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu hakim yang memeriksa bukan hakim yang tidak memeriksa penolakannya. Yang boleh menolak dan menerima adalah majelis hakim yang menangani perkara itu. Kalau ada jubir MA yang mengatakan ditolakโ ya prematur," cetus guru besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) itu.
"Di mana KUHAP-nya dibatasi itu kan aturannya semua penanganan maupun persidangan perkara melalui proses peradilan yang terdiri dari majelis hakim maupun majelis hakim tunggal yang menangani ini, bukan yang tidak menangani ini," sambung Gayus.
Polemik lain yaitu hakim Sarpin menyatakan penetapan tersangka bagian dari objek praperadilan. Adapun di kasus lain, hakim Kristanto menyatakan sebaliknya, penetapan tersangka bukan objek praperadilan. Padahal, sumbernya sama yaitu Pasal 77 KUHAP.
"Ya memang tidak dijamin sama. Hakim itu punya independensi masing-masing,"
Bedanya, Sarpin mengadili gugatan atas permohonan Komjen Budi Gunawan di PN Jaksel. Adapun Kristanto mengadili permohonan penjual sapi Mukti Ali di PN Purwokerto, Jawa Tengah.
"Bagi saya, bukan hanya praperadilan, tapi semua putusan tentu ada interpretasi hakim. Misalnya kasus mencuri dengan pemberatan sekian itu tidak ada. Semua itu mencuri ya mencuri, tambahan pandangan masing-masing hakim itu kebijaksanaan hakim. Jadi, tidak bisa dipaksakan bahwa dua hakim praperadilan itu harus sama," pungkas Gayus.
(hat/asp)