"Kalau di lembaga pemasyarakatan, terpidana mati itu ketika dia dengar atau ada petugas datang saja mereka sudah ketakutan. Jadi secara psikologis itu mereka juga tersiksa. Apalagi eksekusi belum jelas kapan," kata ahli pidana yang juga Ketua Pusat Kajian Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Dr Kuat Puji Prayitno kepada wartawan di sela-sela acara pengukuhan Prof Hibnu Nugroho sebagai guru besar Unsoed, Rabu (11/3/2015).
Menurut dosen FH Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerti itu, untuk sampai pada sanksi mati itu sudah melalui pertimbangan yang matang sesuai prosedur peradilan yang ada. Jadi kalau sudah diikuti dan hak mereka sudah terpenuhi serta tidak ada upaya lain selain pidana mati itu berarti sudah selesai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, ide untuk menunda dikonsep memang ada. Biasanya terpidana mati itu diberi waktu 10 tahun untuk menunjukkan progresnya. Ketika ada progres kemudian hukuman mati bisa dirubah dari mati menjadi seumur hidup.
"Itu konsep RUU KUHP sebetulnya. Jadi pada mereka yang sudah dieksekusi mati dan hak hukum mereka sudah selesai diberikan hak pada dia 10 tahun. Kalau masa 10 tahun mereka menunjukan progres baik maka ada kemungkinan untuk diadakan perubahan modifikasi dari mati menjadi seumur hidup, itu ketika ada kesempatan. Tapi kalau ini kan sudah tidak ada kesempatan" jelasnya.
Dia mengungkapkan ketika sudah dijatuhi hukuman mati, ada baiknya segera dieksekusi sehingga ada kepastian. Secara prinsip tidak ada bedanya antara sanksi pidana penjara dengan sanksi hukum yang lain ketika mereka sudah inkrah sudah selesai memang seharusnya dieksekusi.
"Tahapan dari pemidanaan itu formulasi, aplikasi, eksekusi. Kalau sudah di formulasikan disana dikenal ada pidana mati. Pidana mati diaplikasikan dengan pertimbangan yuridis untuk hakim dan memang sesuatu yang harus diberikan mati ya selanjutnya dieksekusi. Jadi ada kepastian," pungkas Hibnu.
(asp/asp)