"Potensi kemunculan anggaran dana siluman ini punya (ada di daerah lain). Tapi, eksposnya kurang," kata Program Manager Divisi Monotoring Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas di kantornya, Jl Kalibata Timur VI D, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2015).
Dia mencontohkan kasus anggaran Pemprov Banten era Ratu Atut. Beberapa mata anggaran era Ratu Atut itu di sektor pendidikan dan kesehatan ikut menjadi proyek yang dimainkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sama-sama (eksekutif dan legislatif) ada peluang terlibat," sebutnya.
Dia menggambarkan kasus pembahasan APBD memang selama ini rawan terjadi penyimpangan. Untuk eksekutif, pembahasan APBD dikhawatirkan menjadi upaya bagi-bagi 'jatah' lewat penyusupan tambahan anggaran. Adapun bagi gubenur atau bupati selaku eksekutif, APBD bisa menjadi ajang 'balas budi' dari pihak yang berjasa saat kampanye di Pilkada.
"Kalau di parlemen bisa untuk bagi-bagi, tapi untuk kepala daerah bisa jadi panggung balas jasa. Persoalan APBD DKI ini jadi potret kita untuk melihat keseriusan politik anggaran," tuturnya.
Meski demikian, untuk memantau pengawasan anggaran di daerah, menurutnya diperlukan peran pemerintah pusat. Dalam hal ini, menurut peneliti ICW lain, Febri Hendri diperlukan keberanian Presiden Jokowi seperti misalnya mewajibkan setiap pemerintah daerah untuk membuat anggaran dalam sistem e-budgeting. Cara ini dianggap cocok untuk pemberantasan korupsi.
"Nah, Kalau Jokowi komitmen pemberantasan korupsi, berani tidak terapin sistem e-budgeting," tutur Febri di tempat yang sama.
(hat/slm)