Ia menjamin proyek itu tak cuma akan menguntungkan kalangan pengusaha properti. Kalaupun mereka dilibatkan, itu sebuah keharusan karena butuh dana ekstrabesar.
"Kan tidak adil kalau semua dari APBN difokuskan ke situ. Ada Papua, Sulawesi, Kalimantan yang juga butuh APBN," kata Basuki kepada majalah detik di ruang kerjanya, Rabu (25/2).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangunan wilayah perbatasan, infrastruktur pendukung ketahanan pangan, dan perumahan rakyat miskin menjadi fokus perhatian Basuki.
"Selama ini, pendekatan pembangunan perbatasan pada sekuriti, ke depan kita akan mengedepankan prosperity," ujarnya.
Berikut wawancara lengkap Pasti Liberti Mappapa dari majalah detik dengan Menteri PU Basuki Hadimuljono di ruang kerjanya:
Kementerian Pekerjaan Umum mendapat anggaran terbesar, untuk apa saja?
Itu akan dimanfaatkan untuk disesuaikan dengan program prioritas pemerintah.
Pertama, untuk konektivitas antarwilayah dan perbatasan dengan alokasi Rp 56 triliun. Jalan nasional kita ada 38 ribu kilometer, dan 2015 juga ditugasi untuk mengembangkan kawasan perbatasan di Kalimantan, NTT, serta Papua. Tak hanya jalan, juga kawasan pintu lintas batas negara, seperti di Kalimantan Barat itu ada di Aruk, Entikong, Badau, sampai di Sebatik.
Kedua, untuk kedaulatan pangan, alokasinya Rp 30 triliun, yakni membangun 13 bendungan di tahun 2015 dari 49 bendungan selama lima tahun ke depan. Sekarang ini, dari sekitar 7,3 juta hektare lahan irigasi, yang airnya dijamin oleh waduk hanya sekitar 11 persen. Selain membangun, kami juga merehabilitasi jaringan irigasi teknis yang kerusakannya mencapai 52 persen.
Mengapa perbatasan menjadi prioritas?
Selama ini, pendekatan pembangunan perbatasan pada sekuriti, ke depan kita akan mengedepankan prosperity. Kalau kita lihat ke sana, memang sangat perlu memperbaiki dan meningkatkan martabat warga di sana. Harga diri bangsa terhadap negara tetangga. Kita ingin mengembangkan kawasan sebagai beranda depan negara yang pendekatannya tidak hanya sekuriti tetapi juga kesejahteraan.
Pembukaan jalan tidak berbenturan dengan kawasan hutan lindung?
Kita memang berurusan dengan kawasan lindung yang menjadi Heart of Borneo yang menjadi isu nasional dan internasional. Mudah-mudahan urusan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terselesaikan. Jadi, selain fisik hutannya sendiri, juga ada regulasi hutan.
Ada juga kendala pembebasan lahan, seperti di Entikong itu, kami butuh minimal 50 hektar. Tapi yang ada sekarang sudah tidak bisa lagi dikembangkan. Sudah sangat crowded. Di situ ada kawasan hutan lindung, tapi kami sudah selesaikan (dengan) Kementerian Kehutanan.
Konektivitas antarwilayah termasuk akses untuk tol laut?
Kami itu bagiannya menyelesaikan trans-Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan trans-Papua. Di Papua ini, ada beberapa kabupaten yang aksesnya hanya bisa ditempuh dengan helikopter, sehingga harga-harga barang sangat mahal. Saya kemarin ke Ilaga di Kabupaten Puncak. Di pasar, harga telur Rp 5 ribu satu biji, air mineral Rp 25 ribu, semen Rp 1,75 juta sampai Rp 2 juta per sak.
Kami ingin tembuskan dari Grasberg yang bagian dari Freeport sampai ke Ilaga agar harga jadi turun. Kami sudah temui Freeport.
Sedangkan untuk tol laut, Kementerian PU tugasnya mendukung kawasan deep sea port. Apakah jalur akses ke sana atau kawasannya. Misalnya rusun-rusun untuk para buruh di pelabuhan, air bersih untuk cold storage. Seperti Pelabuhan Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, karena itu pelabuhan baru, kita dukung akses ke sana.
Sejauh mana perkembangan pembangunan akses itu?
Kami sudah mulai dari 24 deep sea port yang dibangun oleh Kementerian Perhubungan. Itu tidak semua dari APBN, tapi juga dari investor.
Berapa banyak proyek pembangunan infrastruktur yang mangkrak?
Sebetulnya tidak mangkrak, tapi agak lambat. Itu pun akan kita selesaikan, seperti Jembatan Soekarno di Manado, itu sudah 11 tahun. Mudah-mudahan tahun ini selesai. Kemudian Jembatan Merah-Putih di Ambon, kami harus pindah dermaganya karena ada kendala teknis.
Artinya masih cukup banyak proyek lain yang tidak selesai?
Pembangunan kan berlangsung terus. Jalan, misalnya, dulu lebar 4,5 meter untuk Jalur Lintas Timur Sumatera sudah oke. Tapi, dengan perkembangan ekonomi, minta dilebarkan jadi 6 meter. Dulu Pantura, Jalan Daendels itu mulus. Tahun (19)-75 saya masih bisa bawa mobil 100 kilometer per jam. Nyupir sendiri itu. Sekarang sudah tidak bisa karena sudah sempit.
Untuk bisa memperbaiki Pantura, harus ada jalan tol supaya volume terpecah. Jika nanti jalan Cikampek-Palimanan jadi, dari Cikopo bisa langsung ke jalan itu dan bisa terbagi. Orang akan lebih nyaman lagi.
Bukan karena Pantura dijadikan proyek abadi?
Jalan itu, kalau satu titik saja diperbaiki, kayaknya jalan Pantura semua macet. Ini karena tidak ada alternatif. Ini maksud saya bahwa kapasitas di Pantura ini sudah tidak cukup lagi menampung. Kalau kita pakai baju sudah sesak, dipaksa ya bisa tapi tidak nyaman dipakai.
Kalau kebijakan di sektor perumahan seperti apa?
Untuk permukiman, kami punya tugas meningkatkan kualitas pelayanan air minum. Anggarannya Rp 20 triliun. Secara teori, air minum yang layak disediakan saat ini baru mencapai 68 persen. Kemudian, untuk perumahan, dialokasikan Rp 8,1 triliun. Ada sekitar 13,5 juta rumah yang belum memenuhi target untuk dibangun. Untuk itu, kami menggerakkan Perumnas agar fokus kembali menyediakan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Khusus 2015, kami ditugasi membangun 1 juta rumah. Kami sudah memetakan itu dari anggaran APBN bersama dengan Perumnas, BTN, dan BPJS. Untuk masyarakat berpenghasilan rendah, kita harapkan dapat membangun 603 ribu hunian. Sedangkan untuk nonmasyarakat berpenghasilan rendah, yang kita kerja samakan dengan REI dan pengembang lainnya, sekitar 400 ribu rumah.
Bagaimana agar masyarakat miskin mampu menjangkau rumah?
Kami ada kebijakan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Dengan fasilitas ini, yang dulu berbunga 7,5 persen, diturunkan menjadi 5 persen. Jadi angsuran per bulan yang sebelumnya Rp 700-800 ribu mungkin akan menjadi Rp 500-600 ribu. Itu kita masih kasih uang muka Rp 4 juta per rumah. Free.
Terkait banjir di Jakarta, sejauh mana peran Kementerian PU?
Kalau saya melihatnya itu karena environmental degradation. Selain ada masalah drainase, tingginya hujan di Bogor, rob, serta permukaan tanah di Jakarta yang turun terus sampai 12 sentimeter per tahun, ini karena pengambilan air tanah yang tidak terkendali.
Bagaimana menyetop pengambilan air tanah?
Supply air bersih harus dicukupi. Caranya antara lain kita bangun waduk di Kariyan, Banten, untuk supply air baku ke Jakarta. Kemudian dari Jatiluhur akan ditambah ke Jakarta. Sekarang ini baru dari Kalimalang saja.
Cara lain, kita bikin tanggul laut, seperti rencana Giant Sea Wall. Fase A yang sekarang akan dikerjakan adalah penguatan tanggul di Pluit. Ini sudah disepakati dalam sidang kabinet. Ini yang kritis.
Fase berikutnya adalah Fase B dan C, yang disebut dengan Garuda. Ini belum bisa dilakukan karena datanya belum lengkap. Kami akan bekerja sama dengan Korea, yang berpengalaman membangun Saemangeum, daerah reklamasi di Korea yang membuat tanggul puluhan kilo. Itu butuh dua tahun untuk melengkapi datanya.
Para aktivis lingkungan menolak proyek itu?
Ada dua pilihan: pindah dari Jakarta atau memperbaiki lingkungan. Kalau datanya sudah seperti itu, mari kita diskusikan. Apa ada cara lain? Karena Jakarta ini sudah turun terus. Jangan saling menyalahkan. Kalau tidak setuju itu, terus gimana secara teknisnya?
Di atas Giant Sea Wall akan dibangun permukiman?
Akan dibangun permukiman dan perkantoran. Terutama permukiman. Dengan pembangunan Giant Garuda itu, kita akan mendapatkan storage freshwater dengan syarat sanitasi di bagian hulu sungai diperbaiki lebih dulu. Kalau tidak, kita akan jadi septic tank.
Proyek itu bukannya cuma menguntungkan kepentingan bisnis pengusaha properti?
Kalau menurut saya, ini basic-nya karena environmental degradation yang terjadi di Jakarta. Kalau tidak, ya banjir terus. Mau pompa berapa lagi? Mau polder berapa besar? Kan tidak adil kalau semua dari APBN difokuskan ke situ. Ada Papua, Sulawesi, Kalimantan yang juga butuh APBN.
Karena itu, harus kerja sama dengan swasta. Untuk bisa kerja sama, butuh mereka untuk revenue. Saya kira perlu didiskusikan secara fair dan open. Jangan curiga duluan.
Pembangunan bendungan Kamal juga untuk antisipasi banjir?
Di sepanjang tol Wiyoto, kiri-kanannya rawa semua. Saya ingat, 1990-an masih rawa kalau kita menuju bandara. Sekarang sudah banyak diuruk.
Kemarin saya diajak Presiden dan Pak Ahok ke sana masih ada 20 hektare yang masih berbentuk rawa. Presiden memerintahkan Gubernur bebaskan saja. Sehingga, kalau sudah dibebaskan dan ditanggul, itu bisa jadi bendungan. Kalau dalamnya sekitar 4 meter, itu sudah bisa nampung 80 ribu meter kubik air.
*) Wawancara ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 170, 2-8 Maret 2015
(pal/nwk)