"Secara de fakto perpecahan itu sudah selesai. Yang kita butuhkan saat ini adalah pengakuan eksternal dalam hal ini pemerintah," kata Ketua DPP PPP Ibnu Hajar Dewantara dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (6/3/2015).
Dengan keluarnya putusan PTUN tanggal 25 februari ada 4 yang dihasilkan. Pertama mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan SDA. Kedua, keputusan PTUN itu memerintahkan kepada Menkumham mencabut tentang pengakuan sahnya kepengurusan hasil muktamar Surabaya. Ketiga bahwa keputusan sela tetap berlaku sebelum ada keputusan tetap. Keempat, putusan PTUN itu bermakna publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibnu mengkritik sikap kubu Romi yang seakan-akan mengabaikan putusan PTUN tersebut. Dia menegaskan bahwa kajian dari PTUN itu sudah memenuhi unsur-unsur hukum.
"Di sini sudah jelas, yang bersengketa itu bukan dengan Romi cs. Yang seharusnya berkeberatan itu Kemenkum HAM karena kalah di PTUN. Dan yang melakukan proses banding itu bukan Romi tapi Kemenkum HAM. Info yang kita terima, Kemenkum HAM telah mengajukan banding. Karena banding memang pekerjaan beliau (Menkum HAM)," ujarnya.
Romi juga dianggap tidak memahami aturan organisasi kepartaian. Ibnu menganggap itulah penyebab hiruk pikuk di partai berlambang kakbah ini.
"Dalam berorganisasi patokannya ada 3. Pertama, dalam organisasi ada AD ART. Kedua, setiap organisasi punya penanggungjawab ke luar dan ke dalam yaitu Ketum. Ketiga organisasi punya masa bakti. Tidak ada ceritanya ketua RT diganti oleh sekretaris RT walau suaranya kuorum. Logika sederhana seperti itu. Masa bhakti itu diatur anggaran dasar," tutur Ibnu.
Menkum HAM Yasonna Laoly telah menyatakan banding terhadap putusan PTUN di kasus PPP ini. Dalam konteks peradilan gugatan Suryadharma Ali di PTUN, Menkum HAM merupakan pihak tergugat dan kubu Romi adalah pihak tergugat intervensi. Sebelumnya, PPP kubu Romi juga menyatakan melakukan banding atas putusan hakim Teguh Surya Bhakti.
(imk/erd)