"Bisa (PK untuk praperadilan). Beberapa praperadilan yang dibatalkan di pusat," ujar Mahfud.
Hal ini disampaikan Mahfud di sela-sela Konferensi Nasional Psikologi Islam yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII) di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, Jumat (27/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menjelaskan, PK bisa juga diajukan jika ada kesalahan penerapan hukum yang nyata oleh hakim di tingkat bawah. Hal ini juga berlaku meski putusan praperadilan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
"Meski sudah berkekuatan hukum tetap, bisa di-PK," imbuhnya.
"Sekali lagi, PK bukan hanya novum. PK itu pertama kalau ada novum, yang kedua kalau ada bukti nyata kalau hakim salah menetapkan aturan, itu bisa di-PK," jelas Mahfud.
Menurutnya, peluang pengajuan PK juga masih terbuka meski menurut hukum acara tidak diperbolehkan.
"Misalnya dulu PK diajukan (oleh jaksa) di kasus Muhtar Pakpahan. Itu seharusnya tidak boleh. Seharusnya yang mengajukan PK si Muchtar, tapi jaksa yang mengajukan PK, dikabulkan tuh," ulas Mahfud.
"Jadi tergantung kebutuhan hukum di lapangan. Tapi hukum acara harus diperhatikann," imbuhnya.
Seperti diketahui hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan praperadilan Komjen BG. Padahal sesuai KUHAP, praperadilan tidak berwenang mengadili sengketa penetapan tersangka. Vonis ini menuai kontroversi dan mengakibatkan Sarpin effect. Para tersangka korupsi mengikuti jejak Komjen BG.
(sip/asp)