"PDIP sebagai partai pemenang pemilu bertindak seperti partai oposisi yang turut mengurangi popularitas Jokowi," kata peneliti RIPRO, Agus Mulyono, dalam paparan hasil survei di Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin (23/2/2015) kemarin.
PDIP memang beberapa kali mengkritik tajam langkah Presiden Jokowi. Yang paling terlihat adalah saat PDIP menyatakan kekecewaan saat Jokowi tak jadi melantik Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri. Seolah jadi rahasia umum Komjen Budi yang punya kedekatan dengan Ketum Megawati Soekarnoputri didorong sampai titik nadir buat jadi Kapolri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya dalam sejarah kemenangan Jokowi adalah kali pertama PDIP berhasil memenangkan Pilpres dalam Pemilu. Mestinya PDIP bisa menjadi pertai penguasa yang bijak dan jadi pendukung pemerintahan yang suportif dan kritis. Saat PDIP bersikap keras kepada Presiden Jokowi yang masih saja disebut sebagai 'petugas partai', sejumlah kalangan menyindir dengan kata-kata 'apa PDIP kangen jadi oposisi?". Namun demikian sindiran itu dijawab mantap oleh PDIP.
"Enggak lah. Beroposisi bukan tujuan dari sebuah parpol. Oposisi itu instrumen pembenahan dan itu sudah dilakukan 10 tahun. Sekarang PDIP bagian dari pemerintahan," kata anggota Komisi III DPR dari PDIP Masinton Pasaribu kepada wartawan, Senin (23/2/2015) kemarin.
Sikap kritis PDIP ke Presiden Joko Widodo, menurut Masinton, adalah bentuk kepedulian sesama kader. Tidak ada niat mengusik apalagi hingga menjatuhkan.
"Mengkritik juga enggak sebenarnya, lebih pada memberi pandangan lain. Ini bukan dianggap sebagai kritik tapi saran atau masukan. Itu wujud kecintaan kita terhadap pak presiden. Wujud tanggung jawab sesama kader," ucap anggota Komisi III DPR ini.
Namun saat riset menunjukkan sikap kritis PDIP yang berlebihan itu dianggap menurunkan popularitas Jokowi, muncul tanda tanya besar, sampai kapan PDIP bergaya oposisi? Apakah ini hanya soal kritik atau tujuan lain?
(van/try)