
PM Australia Tony Abbott akan menerapkan kebijakan baru soal antiterorisme.
Dalam keterangan kepada wartawan, Abbott mengatakan ancaman terhadap Australia kian meningkat. Saat ini, negara tersebut menjalankan lebih dari 400 penyelidikan kontra terorisme atau dua kali lipat dari setahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Warga Australia yang turut angkat senjata dengan kelompok teroris, selagi militer Australia berkiprah di Afghanistan dan Irak, dianggap melawan negara. Mereka harus diperlakukan sesuai dengan tindakan mereka," kata Abbott.
Sejauh ini, pemerintah Australia telah membekukan 100 paspor milik anggota milisi di Suriah dan Irak.
Salah satu bagian dari rangkaian kebijakan itu akan menargetkan kelompok atau figur yang melakoni penghasutan agama atau ras.
"Organisasi atau individu yang secara terang-terangan menyebarkan perpecahan, seperti Hizbut Tahrir, seharusnya tidak melakukan aksi itu tanpa sanksi apapun," katanya.
Abbot tidak merinci seberapa besar dana yang akan dikeluarkan untuk membiayai kebijakan baru melawan terorisme. Namun, pada Agustus 2014 lalu, Canberra menggelontorkan sedikitnya A$630 juta.
Bantuan Indonesia
Abbot juga tidak menyebut negara atau pihak mana saja yang akan dia ajak untuk menerapkan kebijakan melawan terorisme.Sekadar catatan, Australia memberikan dana sebesar puluhan juta dollar kepada Indonesia pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri awal 2000-an.
Namun, lepas dari biaya dan dana, pengamat hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Mangadar Situmorang, menilai Australia tidak bisa mewujudkan kebijakan antiterorisme tanpa bantuan Indonesia.
"Australia akan selalu membutuhkan dukungan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tiada pilihan lain bagi Australia, sebab dia tidak bisa mengatasi persoalan itu sendirian. Australia akan selalu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain yang juga memiliki pandangan atau kebijakan sama dalam melawan terorisme," kata Mangadar.
(nwk/nwk)