MK Tahun 2005
Gugatan UU SDA pada 10 tahun lalu itu diajukan oleh 16 organisasi masyarakat. Mereka mengkhawatirkan pasal-pasal dalam UU itu memiliki sejumlah kelemahan. Pasal-pasal itu secara tidak langsung akan membuka kesempatan swasta untuk menguasai sumber daya air secara luas dan terbuka. Setelah digelar sidang, MK menolak gugatan tersebut pada 19 Juli 2005.
"MK mengadili menolak permohonan para pemohon," kata Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena swasta juga tidak memiliki modal sendiri dalam pengelolaan tersebut, melainkan memanfaatkan sumber modal dari perbankan," kata Mukti.
Sedangkan Mukthie berpendapat, pasal 9 ayat 1 UU Air merupakan kebijakan terselubung, yaitu kebijakan privatisasi sumber daya air yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. "Seharusnya hak guna usaha air hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD," ujar Maruarar. (Baca: 'Air Mata' Tumpah Saat MK Tolak Judicial Review UU Air)
MK Tahun 2015
UU SDA kembali digugat, kali ini diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, AL Jami’yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK) dan sebagainya. Berbeda dengan tahun 2015, MK kali ini berpandangan sebaliknya. MK secara bulat mengabulkan gugatan itu.
Vonis yang dibacakan pada 18 Februari 2015 itu dijatuhkan oleh 9 hakim konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Aswanto, Wahiduddin Adams, dan Patrialis Akbar.
Dalam pertimbangannya, majelis menganggap air adalah hakikat khalayak ramai, oleh karena itu dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Majelis berpendapat juga bahwa hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prirotas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.
(asp/try)