"Tanggal 11 Februari lalu Andrew dan Myuran telah menggugat Presiden RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Secara teori hukum pidana, gugatan itu memang tidak menunda pelaksanaan eksekusi hukuman mati, namun perlu digaris bawahi, karena sedang dipersengketakan, maka secara logis seharusnya eksekusi mati ditunda pelaksanaannya," kata penasihat hukum Myuran dan Andrew, Todung Mulya Lubis dalam jumpa pers di kantornya di kawasan SCBD, Jakpus, Senin (16/2/2015).
Dalam kesempatan ini, Todung juga didampingi oleh Michael, Senior Konsul dari pemerintah Australia. Menurut Todung, gugatan tersebut mereka laporkan ke PTUN atas surat Keputusan Presiden No 32/G tahun 2014 tertanggal 30 Desember 2014 dan Surat Keputusan Presiden No 9/G tahun 2015 tertinggal 17 Januari 2015 yang telah diberi nomor registrasi perkara masing-masing 30/G/2015/PTUN-JKT dan 29/G/2015/PTUN-JKT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika eksekusi tetap dilakukan padahal putusan TUN belum keluar, maka hal yang demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap konsep Indonesia sebagai negara hukum. Indonesia negara hukum. Saya masih meyakini kita harus mendasari pada konstitusi," sambung Todung.
Sehingga Todung selaku penasehat hukum meminta kepada Presiden agar menunda eksekusi sebelum putusan dari PTUN keluar. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang mengarah pada eksekusi hukuman mati seharusnya tidak dapat dilakukan sebelum ada putusan dari PTUN yang berkekuatan hukum tetap.
"Tanggal 24 Februari kami baru dipanggil oleh PTUN. Saya harap semua proses hukum, direspek oleh pemerintah. Mereka nggak bisa pindahkan Andrew dan Sukumaran untuk dieksekuisi ketika proses hukum masih berjalan," kata Todung.
Dari beberapa negara anggota PBB, berdasarkan Resolusi A/Res/69/186 pada 18 Desember 2014, sebanyak 72 negara masih menerapkan hukuman mati terkait kejahatan serius, termasuk narkotika. Sebanyak 117 negara mendukung moratorium hukuman mati, 38 negara menolak dan 34 negara memilih abstain. Untuk negara di Asia Tenggara, hanya Myanmar dan Filipina saja yang menolak eksekusi mati.
Atas gugatan ini, sebelumnya Jaksa Agung Prasetyo menyatakan tidak akan menggubris. Menurut Prasetyo, grasi merupakan hak prerogatif yang diberikan UUD 1945 kepada presiden dan tidak bisa diganggu gugat, oleh pengadilan sekalipun.
(rni/asp)