Prasasti Sangguran yang dibuat 928 Masehi dikeluarkan oleh raja Mataram kuno, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, atau Raja Dyah Wawa. Prasasti itu memberikan otonomi khusus pada Desa Sangguran yang dibebaskan membayar pajak kerajaan untuk membiayai segala kegiatan di bangunan suci desa sebelahnya, Desa Mananjung. Namun ada sistem pajak lokal untuk kas desa disebutkan dalam prasasti itu.
Dr Hasan Djafar, arkeolog dan sejarawan Indonesia yang membaca dan menterjemahkan ulang salinan isi prasasti yang tersimpan di Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belanda di bawah bimbingan arkeolog Belanda JG de Casparis tahun 1984-85 saat dirinya bersekolah di Leiden-Belanda, menjelaskan sistem pajak itu.
"Di zaman itu sudah ada sistem pajak ternyata. Ada pajak usaha, pajak penghasilan, dan ada penetapan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Ini menarik sekali," jelas Hasan saat ditemui detikcom di Universitas Indraprasta PGRI, Jl Nangka, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Kamis (12/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bhatara yang bersemayam di bangunan suci peribadatan itulah yang berhak atas perbendaharaan raja tersebut. Selanjutnya juga misra, manambul, manangwring, mencelup kain dengan warna merah, membuat bumbu (boreh), membuat tarub (tenda) membuat tali, mencelup dengan mengkudu, membuat gula, membuat gerabah, membuat kapur sirih, membubut, membuat minyak jarak, membuat keranjang, payung wlu, mengerjakan upih (wadah tahan air dari kelopak daun sejenis palem), mencelup, membuat kisi, menangkap ikan dengan tawang, menangkap ikan dengan tangkeb, menjerat burung, (dan) menjerat (binatang)"
Hasan menjelaskan, memang Desa Sangguran dibebaskan membayar pajak pada kerajaan. Namun, warga Desa Sangguran tetap dipungut pajak untuk pendapatan desa agar bisa membiayai desa sendiri dan semua ritual di bangunan suci yang terletak di desa tetangganya, Desa Mananjung. Nah, siapa yang dipungut pajak, adalah warga yang mencari nafkah dengan rincian di atas. Hasan menyebutnya dengan 'pajak usaha'.
Namun, ada pula pajak penghasilan dan sistem pendapatan tidak kena pajak. Hal itu dikutipkan Hasan dalam terjemahan prasasti sebagai berikut:
"Adapun untuk para pedagang, ada batas jumlah yang tidak dikenai pungutan, (yaitu) tiga tuhaan untuk tiap usaha perdagangan dalam satu simaa. Bagi pedagang kerbau 40 (ekor), (pedagang) kambing 80 (ekor), (pedagang) telur satu bakul, mangulangan tiga pasang, pembuat perhiasan (dari logam) tiga pelandas, perbengkelan logam satu ububan, pembuat gendang tiga perangkat...,...bambu setiap tuhaan, pembuat kain cadar empat pacadaran, 1 perahu (dengan) 3 sunghar tanpa perahu tunda.
Apabila dagangannya itu dipikul seperti.. yang diangkut, bumbu-bumbuan, kapas, mengkudu, besi, tembaga, kuningan, bisa, pangat pamaja, wayang, minyak, beras, batu permata, kasumba (dan) segala jenis barang dagangan yang dipikul untuk wantal yang kelima pada setiap tuhaan dalam sima tidak dikenai (pungutan) oleh sang mangilala drawya haji.
Walaupun demikian, (mereka) harus menjaga prasasti ini. Apabila ada kelebihan daripada yang telah ditetapkan, (maka) kelebihannya itu dapat diambil oleh sang mangilala drawya haji"
Hasan menjelaskan di atas mengenai pendapatan tidak kena pajak yakni:
Pedagang kerbau yang hanya punya 40 ekor tak dikenai pajak, namun bila punya lebih dari 40 ekor dia dipungut pajak.
Pedagang kambing yang punya 80 ekor tak dikenai pajak, namun selebihnya dikenai
Pedagang telur yang punya satu bakul tak dikenai pajak, bila lebih dari sebakul, dikenai.
Mangulangan, adalah penyelenggara transportasi, tukang pedati, yang memiliki 3 pasang sapi atau kerbau tak dipungut pajak
Pembuat perhiasan dari logam perak, emas atau kuningan yang memiliki 3 pelandas (alas untuk menempa logam) tak dikenai pajak
Pemilik bengkel logam yang memiliki 1 ububan (piston atau tabung pompa) tak dikenai pungutan
Pembuat gendang yang hanya mampu membuat 3 gendang tak dikenai pungutan
Dan semua pedagang pikulan dalam batasan tertentu tak dikenai pungutan
Dalam prasasti disebutkan kata 'sang mangilala drawya haji' yang berasal dari kata 'ala' yang berarti memungut, kemudian 'drawya' yang berarti kekayan dan 'haji' yang berarti raja alias pemungut kekayaan raja, bisa diartikan pemungut pajak. Dalam prasasti ini pajak tak diserahkan pada raja di pusat, namun untuk membiayai desa (Sangguran) dan desa tetangga (Mananjung).
"Jadi sudah ada sistem perpajakan, kelompok usaha kerajinan, pertukangan, dalam hal ini pandai besi. Masing-masing ada batas minimal kena pajak," imbuhnya.
Nah, setelah warga Desa Sangguran dipungut pajak untuk kas desa, selanjutnya, prasasti juga menyebutkan bahwa kas desa dari pungutan pajak warga itu dikumpulkan dan dibagi tiga. Disebutkan dalam prasasti yakni:
"Semua pungutan itu dibagi tiga, sebagian diserahkan untuk Bhatara, sebagian untuk penjaga sima (dan) sebagian (lagi) untuk para petugas"
Hasan menjelaskan, Bhatara adalah orang yang didewakan di tempat suci dan semua upacara ritual keagamaannya, kemudian penjaga sima adalah pengurus desa yang bertanggung jawab memelihara tempat suci dan menyelenggarakan upacara ritual itu serta pejabat desa yang mengurusi desa.
(nwk/kha)