"Menurut saya, jika langkah itu di ambil Presiden Jokowi, mungkin saja Megawati dan PDI Perjuangan akan sedikit merugi, tapi tetap akan eksis sebagai kekuatan politik besar. Karena pondasi Megawati dan PDI Perjuangan sudah kokoh. Sementara bagi Presiden Jokowi niscaya akan merupakan bunuh diri politik dan konyol," ujar pengamat politik yang juga dosen Fisip Unair Haryadi di Jakarta, Rabu (11/2/2015).
Haryadi menganalisa dorongan untuk berpisah dengan partai yang mengusung Jokowi itu terutama berasal dari figur atau faksi kelompok relawan pendukung Presiden yang karakternya memang anti-partai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, menurut Haryadi, anti-partai berarti menentang semangat konstitusi yang mengharuskan pengembangan demokrasi Indonesia berpilar partai. Sehingga, Presiden Jokowi akan kehilangan basis kekuatan di parlemen.
"Mungkin saja ada partai lain yang siap mendukung Jokowi di Parlemen, tapi kepentingannya semu dan sesaat. Secara demikian, pasti kinerja kekuasaan pemerintahan tidak akan efektif," imbuhnya.
"Pada saat yang sama, memisahkan diri dari Megawati, maka Presiden Jokowi akan kehilangan patron ideologi nasionalisme-kewargaan. Juga, Presiden Jokowi akan mudah dicap sebagai penghianat politik," lanjutnya.
Jadi menurut Haryadi, yang diperlukan Presiden Jokowi sekarang justru adalah menguatkan kembali jalinan komunikasi dan ikatan politiknya pada Megawati dan PDIP. "Kecuali jika memang Presiden Jokowi ingin bunuh diri secara politik," tutupnya.
(mpr/ahy)