"Hakimnya sudah berpikir progresif terutama dengan menempatkan perlindungan korban. Kekerasan psikis lebih sering terjadi yang kemudian bisa jadi kekerasan fisik," kata akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr Riris Ardhanariswari kepada detikcom, Rabu (11/2/2015).
Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, Briptu MZJ tidak melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap Bunga (bukan nama sebenarnya). Briptu MZJ menyetubuhi BUnga bermodal rayuan gombal dengan janji dinikahi. Alih-alih dinikahi. Bunga malah dicampakkan di RS dengan luka pendarahaan di alat kelaminnya. Meski tidak ada kekerasan, hakim meluaskan makna 'kekerasan atau ancaman kekerasan' secara kontekstual, tidak terpaku pada teks semata.
"Hakim juga bisa menggali nilai-nilai dari masyarakat, hakim bukan cuma corong UU," ujar dosen yang juga aktif dalam gerakan perlindungan wanita itu.
Majelis hakim yang dimaksud yaitu terdiri dari Cipta Sinuraya, Rendra Yozar dan Syamsul Arief. Dalam melakukan terobosan hukum ini, ketiganya mencontohkan perluasan makna 'kekerasan atau ancaman kekerasan' dalam UU Perlindungan Anak menjadi 'dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain'.
Di dalam Rancangan KUHAP terbaru, makna perkosaan diperluas unsurnya. Yaitu tidak lagi hanya bermakna peraduan alat kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan akan tetapi perbuatan perkosaan termasuk di dalamnya perbuatan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam anus atau ke dalam mulut perempuan.
"Putusan hakim ini harus menjadi yurisprudensi untuk lebih melindungi perempuan," pungkas Riris.
(asp/fdn)