Keraguan ini dilontarkan antropolog dan sosiolog dari Jerman, Werner Kraus, yang juga menjadi kurator di pameran 'Aku Diponegoro'. Werner pernah melihat manuskrip dan lukisan yang dikembalikan ke Indonesia, kondisinya sekarang sudah hampir hancur.
"Karena tidak dirawat dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Padahal manuskrip ini sangat banyak di Inggris," ujar Werner yang juga Direktur Pusat Seni Asia Tenggara yang menangani arsip pada seni Indonesia modern ini, dalam Curator's Talk pameran 'Aku Diponegoro' di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang dari Banten, Aceh. Surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda juga ada, macam-macam. Banyak hal yang luar biasa, itu tersimpan di Oxford, Cambridge, Dublin, London, British Museum," imbuhnya.
Namun, beberapa pihak yang berkepentingan pada teks kuno itu, seperti Keraton Yogyakarta malah menerima naskahnya dirawat di Inggris, dengan syarat mereka diberikan akses pada naskah itu. Mengenai perawatan naskah kuno ini, Peter mengatakan tahun 1989 pernah memberikan naskah tentang tari bedoyo dalam bentuk microfilm pada perpustakaan di Keraton.
"Sekarang microfilm itu sudah tak bisa dibaca lagi, sudah rusak berat. Tapi di sini, di Perpustakaan Nasional, bisa dibaca, karena dirawat," jelasnya.
Contoh lain, teks Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro dalam pengasingannya di Manado dan Makassar, sudah diserahkan ke Pemkot Makassar. Namun, pada saat Peter ingin mengaksesnya untuk riset pada Juni 2014 lalu, keberadaannya sudah tidak jelas.
"Kalau di Makassar saya melihat bahwa itu benda asli, tulisan tangan Diponegoro sendiri. Itu catatan. Dan sekarang saya cari lagi pada Juni 2014 untuk pementasan Mas Landung (Landung Simatupang, seniman yang kerap mementaskan Pangeran Diponegoro). Saya coba ke Pemda, mereka bilang ke mana ini (naskahnya)," tutur sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti Babad Diponegoro ini.
(Baca juga: Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui UNESCO Hilang, Ke Mana?)
Padahal Peter memiliki kopi surat tanda terima bahwa naskah itu telah diterima dengan baik Pemkot Makassar. Simpang siur keberadaan naskah otentik tulisan tangan Pangeran Diponegoro ini tentu meresahkan.
"Ini setengah merisaukan yah, sebab kalau ini tidak dilacak kembali, 1 bagian Diponegoro yang sangat penting mengenai kepribadiannya, kepercayaannya, agama dan Islam akan hilang," tuturnya.
Dia juga mendapati rumah janda Diponegoro di Makassar sudah dibuldozer dan dijadikan ruko. Kemudian yang terakhir adalah soal jubah Diponegoro, yang menurutnya tak dirawat dengan benar dan nyaris lapuk dimakan rayap.
(Baca juga: Kisah di Balik Jubah Diponegoro yang Batal Dipamerkan di Galeri Nasional)
"Jadi kamu harus masuk akal. Kalau itu dikembalikan ke kamu dan kamu bisa merawatnya, oke. Kalau tidak bisa merawatnya, lupakan saja. Tapi di sini kalau ditaruh di Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional, saya yakin akan baik merawatnya, "kata dia.
Terakhir mengenai naskah Babad Diponegoro, yang sebelumnya disebutkan tak ada yang berminat menerbitkannya di Indonesia, malah Malaysia dan Belanda yang berminat. Namun kini, Peter mengakui sudah ada penerbit Indonesia yang berminat menerbitkannya.
(Baca juga: 'Babad Diponegoro' yang Legendaris Terbit di Malaysia dan Belanda, di RI Malah Tak Ada)
Wacana untuk mendigitalisasi naskah-naskah kuno juga terus digaungkannya supaya menjadi nyata.
(Baca juga: Peter Carey: Hargai Sejarah, Indonesia Bisa Digitalisasi Naskah Kuno)
"Kalau tidak, percuma kita banting tulang, banting kepala untuk mengangkat naskah kuno ini ke tingkat dunia kalau di negara sendiri tidak diangkat," tandas dia.
(nwk/nik)