Tongkat Kiai Cakro milik Pangeran Diponegoro akhirnya kembali ke Indonesia pada Kamis ( 5/2) kemarin. Sebenarnya, apa makna tongkat ini bagi Pangeran Diponegoro?
"Tongkat ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar segala kegiatannya diberkati," demikian tertulis dalam kertas yang terselip di ujung tongkat, yang diduga ditulis sendiri oleh JC Baud, Gubernur Jenderal Belanda yang bertugas 1833-1836 yang mendapatkan tongkat ini dari Pangeran Notoprojo Juli 1834.
Dalam buku katalog tongkat ini,"A Lost Pusaka Returned" , yang diterbitkan Rijks Museum, Goethe Institute Erasmus Huis yang dibagikan di pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (6/2/2015),disebutkan bahwa tongkat itu jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro sekitar 10 tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, sekitar tahun 1815.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simbol cakra sepertinya memiliki makna penting bagi Diponegoro, mengingat cakra adalah senjata Dewa Wisnu, yang inkarnasinya yang ke-7 sebagai penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau erucakra.
Diponegoro memulai memakai gelar ini di awal Perang Jawa dan menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Panji pertempuran Diponegoro menggunakam simbol cakra dengan panah menyilang.
Kemudian, setelah Perang Jawa berakhir, tongkat itu jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo. Waktunya kemungkinan 11 Agustus 1829, saat Diponegoro melakukan kampanye terakhir di wilayah Mataram. Dari Notoprojo inilah, tongkat ini sampai pada JC Baud.
(nwk/ndr)