Penjahat Kelamin Wajib Dihukum Setimpal, Hakim Harus Progresif

Penjahat Kelamin Wajib Dihukum Setimpal, Hakim Harus Progresif

- detikNews
Jumat, 06 Feb 2015 10:50 WIB
ilustrasi (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Seorang penjahat kelamin di Bengkulu dituntut 12 tahun penjara karena memperkosa korban dengan dijanjikan akan dinikahi. Korban mengalami trauma dan kesakitan karena pendarahan di alat kelaminnya. Hakim harus progresif dalam memberikan hukuman.

"Demi keadilan dan untuk mencegah merajalelanya perzinaan di masyarakat, jaksa dapat menuntut hukuman maksimal," kata sosiolog Musnir Umar kepada detikcom, Jumat (6/2/2015).

Pelaku, sebutlah Jaka (bukan nama sebenarnya), didudukkan di kursi pesakitan karena telah merenggut keperawanan Bunga (bukan nama sebenarnya). Baik Jaka dan Bunga sama-sama telah berusia dewasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam aksinya, Jaka merayu Bunga dengan kata-kata maut untuk bisa diajak ke ranjang. Jaka sendiri memiliki postur atletis, kulit kuning langsat dan paras bak artis sinetron. Bunga yang awalnya menolak, perlahan luluh hatinya. Dengan janji akan menikahi, Jaka membawa Bunga ke sebuah hotel. Di sebuah kamar, keperawanan Bunga direnggut Jaka.

Malam durjana ini benar-benar membuat Bunga trauma. Pendarahan keluar dari alat kelaminnya. Jaka panik dan membawa Bunga ke sebuah rumah sakit. Seusai masuk dan diperiksan dokter, beberapa jahitan harus dilakukan di seputaran alat kelamin Bunga untuk menghentikan pendarahan. Tapi dasar penjahat kelamin. Bukannya bertanggung jawab, Jaka malah membiarkan Bunga menahan kesakitan di sebuah kamar RS. Jaka ambil langkah seribu dan mematikan HP. Keluarga Bunga tidak terima dan mempidanakan Jaka. Kasus ini masih bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu.

"Kasus penjahat kelamin dengan menjerat pasal perkosaan dengan tuntutan 12 tahun penjara, terasa tidak adil jika hanya berpijak pada pasal pemerkosaan yang diatur dalam KUHP. Pertama, perzinahan terjadi setelah didahului bujuk rayu oleh di pelaku," ujar Musni.

Kedua, walaupun pengenaan pasal pemerkosaan sulit dibuktikan karena si pemerkosa beralibi tidak memperkosa, tetapi atas suka sama suka. Begitu pula
mau mengenakan pasal perzinahan, kurang tepat sebab kedua-duanya masih jejaka dan bersifat delik aduan.

"Faktanya, ada yang menjadi korban berupa pendarahan, mengalami kesakitan, penderitaan dan traumatik. Maka pelakunya patut mendapatkan hukuman," ucap Wakil Rektor Universitas Ibnu Khaldun ini.

Atas dasar itu, Musni menilai hukuman yang dijatuhkan pekan depan oleh PN Bengkulu harus benar-benar memberikan pencerahan dan rasa keadilan bagi masyarakat. Majelis hakim tidak boleh terjebak dengan hukum positif semata.

"Hakim dapat menghukum berdasar hukum adat, yaitu hukum yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, yang tidak membolehkan perzinahan serta menerapkan hukum progresif, yaitu yang disuarakan dan diperjuangkan masyarakat," pungkas Musni.

(rvk/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads