"Ya kita layani saja. Biasalah itu. Kita hormati itu," ujar Menkum HAM Yasonna Laoly saat ditanya gugatan LSM tentang pembebasan bersyarat Pollycarpus ke PTUN.
Hal itu disampaikan Menkum HAM Yasonna di Kantor Wapres, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (5/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PTUN punya kesempatan 90 hari. Kami memanfaatkan waktu 90 hari setelah keputusan, sekaligus kami telah berupaya melakukan pendekatan audiensi dengan KemenkumHAM. Akan tetapi mereka bersikeras tidak bisa membatalkan dan memberikan tanggapan secara normatif kepada kami dengan berkirim surat," ujar Muhamad Isnur, kepala divisi LBH Jakarta usai pendaftaran di PTUN, Pulogebang, Jakarta Timur, Rabu (4/2/2015).
Sebelum melakukan gugatan ke PTUN, pihaknya telah berupaya meminta salinan SK atas pembebasan bersyarat Polycarpus. Akan tetapi pihak Kemenkum HAM menolak memberikan dengan alasan surat tersebut dipegang kanwil Jabar.
"Ini kan menjadi lucu, tanda tangannya oleh menteri sendiri tetapi tidak punya salinannya," kata Isnur.
Dalam perkara ini, pihaknya didampingi 25 pengacara. Dengan tujuan agar gugatan ke PTUN tersebut dapat membatalkan keputusan pembebasan bersyarat oleh Menkum HAM.
"Kalau nanti gugatan yang bersangkutan (Polycarpus) harus kembali lagi ke tahanan untuk menjalankan masa hukumannya. Ini merupakan bagian dari konsistensi kami atas somasi ke Presiden dan Yasonna Laoly, bukti kami serius atas keberatan dari masyarakat yang mencitai Munir atas pemberian PB kepada Polycarpus," tuturnya.
Isnur mengaku telah melakukan kajian atas PB yang diberikan kepada Polycarpus. Dikatakannya SK tersebut tidak memenuhi prosedur pembebasan bersyarat.
"Memang PB merupakan hak dari masyarakat, akan tetapi Polycarpus sebagai pelaku kejahatan HAM tidak menujukan itikad baik untuk berubah, indikatornya dia tidak mengaku perbuatannya dan selama persidangan tidak kooperatif dengan tidak menujukkan otak pelaku sebenarnya," tutup Isnur.
(nwk/try)