"Pelanggaran terhadap due process of law dengan indikasi proses penangkapan tidak dilakukan sesuai dengan Perkap Nomor 14 tahun 2012 yakni tidak didahului dengan surat panggilan," ujar komisioner Komnas HAM yang memimpin penyelidikan, Nur Kholis.
Hal tersebut disampaikan Nur Kholis dalam jumpa pers di Jl Latuharhary, Menteng, Jakpus, Rabu (4/2/2015). Hadir pula dalam rilis hasil sementara ini komisioner Komnas HAM lainnya Roichatul Aswidah, Natalius Pigai, Sandrayati Moniaga, dan Ketua Komnas HAM Hafidz Abbas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, menurut Tim penyelidikan, Polri juga telah menerapkan hukum secara tidak proporsional dalam penggunaan Pasal 242 junto 55 KUHP terhadap kerja-kerja advokat sehingga dapat mengancam profesi advokat. Di mana advokat disebut Komnas HAM dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi hak atas keadilan sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
"Konsen kami dalam hal ini tidak mau intervensi kasus 242-nya tapi bahwa profesi advokat adalah profesi yang dibutuhkan masyarakat. Terjadinya abuse of power, salah satunya, berupa penggunaan kekuasaan yang eksesif sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM," Nur Kholis menjelaskan.
"Seluruh prosedur formil dan material yang digunakan oleh Bareskrim dalam perkara BW tidak didasari dengan itikad baik (in good faith) dalam rangka upaya penegakan hukum," sambungnya.
Komnas HAM pun melihat telah terjadinya diskriminasi dalam kasus BW di mana penangkapan dilakukan tanpa adanya proses pemanggilan. Kasus ini pun dianggap Komnas HAM dapat mengancam kebebasan hak sipil, termasuk kebebasan profesi advokat.
BW ditangkap oleh sejumlah penyidik Bareskrim saat mengantar anaknya ke sekolah pada Jumat (23/1) lalu. Ia menjadi tersangka karena diduga meminta saksi memberikan keterangan palsu dalam kasus gugatan hasil Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada tahun 2010.
(ear/fdn)