"Pemerintah dalam hal ini harus mengevaluasi PB khususnya kejahatan koruptor dan narkoba karena itu salah termasuk kejahatan HAM dan menjadi perhatian publik," ujar Kordinator Divis Hukum LBH Jakarta, Muhamad Isnur yang tergabung dalam KASUM usai mendaftarkan gugatan Surat Keputusan (SK) Pembebasan Bersyarat (PB) Polycarpus Budihari Priyanto di PTUN, Jakarta Timur, Rabu (4/2/2015).
Isnur berkaca kepada salah satu PB yang dikeluarkan Kemenkum HAM untuk Polycarpus. Menurut Isnur selama menjadi terpidana di Lapas Sukamiskin, Polycarpus sudah mendapatkan remisi tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua napi bisa melakukan hal yang sama, tapi kita harus melihat lagi bobot nilai kejahatannya dia melakukan kesalahan apa, ini harus menjadi salah satu poin penilaian. Menkum HAM harus bisa seleksi lagi dalam perkara kejahatan publik," lanjut Isnur.
Isnur juga mempertanyakan komitmen HAM dalam nawacita Presiden Jokowi. Apa yang dijanjikan oleh Jokowi selama masa kampanye dalam perkara HAM dinilainya telah melenceng jauh.
"Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi HAM, kami kecewa Presiden tidak memberikan respon apa-apa, bahkan tidak mau menegur menterinya. Kasus Munir sendiri menjadi sorotan dunia bahkan dalam sidang PBB hal tersebut dipertanyakan," jelasnya.
Sebelumnya KASUM menggugat Surat Keputusan (SK) PB Polycarpus yang terlibat dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Gugatan tersebut ditujukan kepada Menteri hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang menandatangani surat pembebasan bersyaratnya.
Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) yang terdiri dari Kontras, Imparsial, LBH Jakarta dan YLBHI mendaftarkan perkara bernomor 22/G/2015/PTUN-JKT tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Adapun yang menjadi obyek sengketa adalah surat pemberian pembebasan bersyarat bernomor W11 PK 01.05-06-0028 tertanggal 13 November yang ditanda tangani oleh Menkum HAM, Yasonna Laoly.
(edo/slm)