"Saat polisi datang ke rumah, memberitahukan anak saya mengalami kecelakaan sepeda motor," ungkap orangtua korban, Sumartini, kepada wartawan di Kantor Jogja Police Watch (JPW), Jalan Jenggotan, Tegalrejo Kota Yogyakarta, Rabu (4/2/2015)..
Namun ternyata tidak benar. Sepeda motor yang dipakai Maulana rusak apapun saat dibawa ke Polres Bantul. Selain itu, keluarga tidak boleh melihat kondisi Maulana yang tidak sadarkan diri dengan luka-luka lebam di wajah saat dirawat di ICU RSUD Wirosaban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sumartini mengaku sempat nekat masuk ruangan kemudian memotret menggunakan HP mengenai kondisi anaknya yang tidak sadarkan diri. Namun kemudian ketahuan polisi yang jaga. Polisi yang jaga kemudian mengejar hingga halaman luar rumah sakit dan meminta menghapusnya.
"Saya bersama tetangga yang ikut di rumah sakit akhirnya menghapus file tersebut," katanya.
Menurutnya saat menunggu di rumah sakit, hampir semua polisi yang jaga tampak berbaik hati kepadanya. Semua menawarkan diri mulai dari memberi minuman, makanan gratis. Namun semua ditolaknya. Kecurigaannya terbukti, anaknya bukan akibat kecelakaan sepeda motor tapi disiksa oleh polisi.
Selain itu, Sumartini mengaku "terpaksa" menandantangani surat perjanjian bila keluarga tidak akan menuntut polisi. Bahkan dirinya diiming-imingi oleh pengacara yang mendampinginya agar berdamai dengan polisi dan tidak akan menuntut kasus tersebut.
"Saat masih menunggu anak saya yang masih koma di rumah sakit. Saya ditawari seorang polisi," ungkap Sumartini.
Dia menirukan ucapan polisi tersebut. "Bu itu motornya mau diambil. Mau bawa ke sini atau diantarkan ke rumah," kata Sumartini menirukan ucapan seorang anggota polisi saat berada di RSUD Wirosaban Kota Yogyakarta.
Oleh karena, dia membutuhkan sekali sepeda motor tersebut untuk wira-wiri dari rumah dan selama di rumah sakit. Sumartini berpikir sepeda motor Honda Vario tersebut bisa diantarkan ke rumah sakit. Namun hal itu batal. Polisi meminta sepeda motor diambil di Mapolres Bantul.
"Saat mau ambil, saya disuruh tandatangani surat. Setelah saya baca isinya tidak akan menuntut," katanya.
Dia mengaku sempat bimbang. Namun polisi terus mendesaknya agar menanda tangani surat tersebut. Dia pun terpaksa menandatanganinya. "Mereka bila tolong tandatangani saja, Bu," katanya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, setelah surat ditandatangani, seorang pengacara yang sebelumnya mendampinginya justru kemudian berbalik arah membantu polisi. Pengacara tersebut justru menawarkan perdamaian dan menyebutkan sejumlah nominal uang sebagai ganti rugi agar keluarga tidak menuntut lagi kepada polisi.
"Saya dan suami tidak mau. Dia menyebut Rp 300 juta, tapi saya tetap gak mau. Kami ingin pelaku yang menganiaya anak saya dihukum setimpal," katanya.
Sumartini menambahkan ada juga seorang anggota polisi yang menelpon mengaku bernama Muji. Karena telepon tidak dijawab dan hanya mengatakan keluarga sedang berduka. Polisi tersebut kemudian mengirim SMS isinya agar damai saja. "Damai saja Bu," kata Sumartini menirukan ucapan si polisi.
(bgs/try)