Andi mengatakan, di jalanan dia merasa kalem-kalem saja. Namun bila bertemu pengendara yang ugal-ugalan dan melawan arus maka dia kerap emosi.
"Ya sumbu saya memang pendek sekali menghadapi yang seperti itu. Ini berlaku untuk kendaraan roda dua sampai kendaraan roda 1.000 kalau memang ada," tulis Andi dalam akun facebook-nya, (4/2/2015). Klarifikasi itu dia buat untuk menjawab berbagai tudingan miring di forum internet yang menyudutkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang bekerja sebagai dosen ini menilai SIM bukan lagi berfungsi sebagai surat izin mengemudi (driving license) lagi, namun sudah berubah menjadi surat izin membunuh (license to kill). "Jadi pembiaran terhadap situasi-situasi seperti itu menurut saya tidak bisa lagi. Apalagi di Jakarta yang sudah super padat dan ruwet begini," katanya.
Andi mengatakan, bila menggunakan prosedur yang ada maka untuk menindak suatu pelanggaran lalu lintas harus mencatat nomor polisi kendaraan yang melanggar, mengumpulkan keterangan saksi dan melaporkan ke petugas setempat. "Saya kira tak mungkinlah," katanya.
Menurutnya, banyak orang yang punya tak waktu untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran itu. Selain itu pelaku pelanggaran itu sudah kabur dari lokasi kejadian.
"Dan apa polisi juga punya waktu untuk menangani semua laporan-laporan seperti itu? Pelakunya entah sudah jalan ke mana tanpa menyadari ada sesuatu yang salah bahkan membahayakan yang telah dilakukannya dan di lain kesempatan akan mengulanginya lagi. Tapi bagi yang ingin mengikuti prosedur itu ya monggo saja," katanya.
detikcom sudah berusaha mengklarifikasi langsung aksi Ichiro kepada Andi di kampusnya. Namun, akses untuk menemuinya tidak diberikan pihak kampus. Saat detikcom mencoba untuk mewawancarainya di jalanan, dia tak berhenti. Upaya konfirmasi lewat email dan pesan facebook pun belum berbalas.
(nal/mad)