Mendesak! Mahkamah Privilegiatum, Pengadilan Pidana Khusus Pejabat Negara

Mendesak! Mahkamah Privilegiatum, Pengadilan Pidana Khusus Pejabat Negara

- detikNews
Jumat, 30 Jan 2015 08:26 WIB
Jhon Pieris (tengah/lamhot.detikcom)
Jakarta - Banyaknya pejabat negara yang bermasalah dengan hukum membuat proses pemerintahan berjalan lambat. Oleh sebab itu, diperlukan pengadilan khusus guna kepentingan bangsa tidak terhambat. Kasus terkini yaitu penetapan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang membuat roda pemerintahan terseok.

"Persis (kasus Komjen BG). Jadi tidak molor-molor kayak begini. Dugaan proses peradilan yang panjang tidak terkatung-katung nasibnya karena akan merugikan rakyat," kata anggota DPR Provinsi Maluku Jhon Pieris.

Hal itu ia sampaikan dalam diskusi di Komisi III DPR dengan tema 'Usulan UU Percepatan Pengadilan Bagi Pejabat Negara yang Jadi Tersangka Pidana', di Komplek Parlemen, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Jumat (30/1/2015). Pengadilan khusus ini bernama Mahkamah Privilegiatum yang langsung berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Hukum acaranya khusus yaitu maksimal 20 hari dengan putusan bersifat final dan binding. Pejabat negara yang divonis bersalah dan dijatuhi hukuman pidana langsung dieksekusi tanpa bisa mengajukan upaya hukum apapun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Forum Privilegiatum ini bukan hal yang baru di Indonesia. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUD Sementara 1950 sudah ada tapi tidak bisa diaplikasikan. Saya berpikir bahwa carut marut peradilan sekarang ini perlu," papar Jhon.

Mahkamah Privilegiatum ini pernah dibentuk pada tahun 1950-an untuk mengadili Menteri Negara Sultan Hamid dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara, dari tuntutan Jaksa Agung selama 18 tahun.

Lembaga semacam Mahkamah Privilegiatum juga pernah dibentuk untuk pidana khusus militer terkait makar yaitu membantuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Mahmilub itu dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1963 tentang Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 24 Desember 1963. Duduk sebagai Ketua Mahmilub yaitu Ketua MA waktu itu, Ali Said. Mahmilub mulai menyidangkan Nyono pada 14 Februari 1966. Setelah itu berturut-turut diperiksa dan diadili Letnan Kolonel Untung, Dr Soebandrio, Laksamana Madya Omardhani, Brigjen Supardjo dan lain-lain.

"DPD sudah usulkan cukup lama (Mahkamah Privilegiatum), setahun lalu," tegas Hans.

Mahkamah Privilegiatum akan mengadili pejabat negara seperti Ketua MK, Ketua BPK, Ketua DPR, Ketua MA, Kapolri, Panglima TNI, pimpinan KPK, menteri dan pejabat negara lainnya yang terjerat kasus pidana. Dengan proses peradilan yang berjalan cepat, maka roda pemerintahan akan tetap berjalan maksimal.

"Tapi prosesnya harus cepat, prosesnya paling tidak dua minggu, penyelidikan, penyidikan, peradilan, putusan. Kenapa harus cepat dan sifarnya final and binding? Supaya tidak terjadi kekosongan jabatan itu. Misalnya kepala kepolisian, atau Jaksa Agung tersandung kasus, cukup 10 hari kerja kemudian dia diputus.Bila bersalah maka diganti, bila tidak bersalah maka kembali lagi ke institusinya," papar Jhon.

"Ataukah seorang menteri melakukan banyak hal, tindak pidana berat, tercela. Lalu diputus 10 hari final and binding. Hal ini penting supaya kita menunjukkan bangsa yang bermartabat, konsitusi harus kita tingkatkan jadi fungsi edukasi. Konstitusi mengajak kita untuk berlaku sebagai pejabat negara. Jangan merugikan negara, rakyat, jangan mencuri," sambung Jhon.

Untuk membentuk Mahkamah Privilegiatum ini harus dilakukan dengan dengan membuat UU pelakasananya. Rencananya DPD akan memasukan usulan ini ke dalam prolegnas tahun depan.

"Usulan UU percepatan pengadilan bagi pejabat negara yang menjadi tersangka pidana
Forum Preveliegiatum itu nama lembaganya, itu masuk ke UU ini. Nomenklatur lembaganya itu," pungkasnya.

Sebelumnya, ahli hukum tata negara dari Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono juga mendorong pengadilan khusus ini segera dibentuk.

"Jadi daripada kita mendorong adanya imunitas terhadap pejabat negara seperti imunitas untuk komisioner KPK yang potensial bertentangan bersamaan dengan prinsip setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, maka lebih baik kita pikirkan kembali alternatif untuk menggunakan instrumen Forum Privilegiatum," ujar Bayu.

(asp/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads