Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergeming mendapat telepon Raja Belanda dan Presiden Brasil yang meminta eksekusi mati terhadap warga negaranya diurungkan. Nyali Jokowi tidak menciut, pelatuk eksekutor tetap menyalak dan timah panas pun menembus 6 terpidana mati gembong narkoba.
Genderang perang terhadap narkotika dikumandangkan Jokowi pada awal Desember 2014 dengan menolak grasi seluruh gembong narkoba. Tapi eksekusi mati ini tidak berjalan mulus dan diwarnai polemik proses hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan peninjauan kembali (PK) berkali-kali menjadi celah hukum bagi terpidana mati. Tidak mau larut, Jokowi lalu memerintahkan Menkum HAM menggelar rapat dan diikuti oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Jaksa Agung dan para ahli hukum di bidangnya. Hasilnya rapat yang digelar pada 9 Januari itu semua sepakat PK hanya bisa diajukan satu kali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Ang Kiem Soei, pemilik pabrik ekstasi terbesar di Asia
2. Marco Archer Cardoso Moreira, penyelundup 13 kg heroin
3. Rani Andriani alias Melisa Aprilia, penyelundup 3 kg kokain dan 3,5 kg heroin
4. Namaona Denis, penyelundup 1 kg heroin
5. Daniel Enemuo
6. Tran Thi Bich Hanh, penyelundup 1 kg sabu
Tidak lama berselang, Brasil memanggil pulang Dubesnya di Jakarta dan disusul Belanda. Pemanggilan ini bentuk protes atas hukuman mati yang masih diberlakukan di Indonesia. Tapi Jokowi bersikukuh dan tetap dengan pendiriannya.
Belum genap sebulan, Prasetyo langsung menyiapkan eksekusi mati gelombang kedua. Kepada Komisi III DPR, ia tengah merampungkan hal-hal teknis proses eksekusi mati ini. Tidak tanggung-tanggung, orang yang masuk daftar tereksekusi mati juga berasal dari negara maju.
"Kita sedang cari waktu tepat untuk lakukan eksekusi berikutnya untuk warga Prancis, Ghana, Cordova, Brasil, Filipina, Australia, dan satu orang WNI. Tempatnya mungkin kami tetap memandang Nusakambangan sebagai tempat ideal," tutur Prasetyo dalam rapat kerja di Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (28/1/2015).
Keberanian Prasetyo seakan melunturkan keraguan sebagian orang saat mantan politikus Partai NasDem itu dilantik sebagai Jaksa Agung. Ada yang menyebut Prasetyo saat di Kejaksaan dengan karier tertinggi sebagai Jampidum ini biasa-biasa saja.
Ketegasan pemerintah soal eksekusi ini bukannya tanpa alasan. Sebab dalam sehari 40-an orang Indonesia meninggal dunia karena narkoba. Jika tidak dicegah maka Indonesia akan kehilangan generasi bangsa dalam jangka panjang.
"Kamu harus ngerti ya, harus ngerti ini. Setiap hari 40-50 orang generasi kita meninggal. Mati karena narkoba," kata Jokowi seusai melakukan pertemuan dengan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (24/12/2014).
(asp/nrl)