Sementara di sisi lain, La Nina akan menyebabkan kejadian kemarau berkepanjangan dan badai angin topan.
Demikian terungkap dalam hasil penelitian yang dimuat dalam Jurnal Nature Climate Change, Selasa (27/1/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Dr Wenju Cai yang menulis laporan itu, penelitian ini memprediksi La Nina akan terjadi setiap periode 13 tahun, lebih sering dibandingkan frekuensi kejadian sebelumnya, yaitu 23 tahun sekali.
Saat La Nina terjadi, bagian timur Pasifik akan mengalami cuaca lebih dingin, sementara di sisi baratnya akan memicu lebih banyak hujan.
Menurut Cai, La Nina biasanya terjadi setelah fenomena cuaca ekstrim lainnya yang disebut El Nino.
Tim peneliti ini juga sebelumnya telah mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai El Nino, yang kesimpulannya menyebtutkan bahwa fenomena El Nino pun akan lebih sering terjadi.
Studi mengenai La Nina ini menyoroti kejadian dalam periode 200 tahun sejak 1900-2005 dan prakiraan 2006-2099 mendatang. Dalam periode pertama digunakan data historis sementara untuk periode kedua digunakan prakiraan emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa 75 persen kemungkinan La Nina akan terjadi setelah terjadi El Nino.
(nwk/nwk)