Ketua Departmen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Phillips Vermonte, melihat pemerintahan Jokowi-JK menghadapi tantangan berat karena beberapa hal. Pertama, pemerintahan ini adalah sebuah pemerintahan minoritas (minority government), artinya partai penyokong pemerintah bukan pemegang jumlah kursi mayoritas di DPR.
"Pada jangka pendek, ini menimbulkan persoalan seperti kontroversi UU MD3 dan juga kemungkinan penghentian pilkada langsung yang dilakukan oleh koalisi pemegang suara mayoritas di DPR," kata Phillips dalam siaran pers, Selasa (27/1/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan kedua adalah posisi Jokowi yang lemah di PDIP. Hal ini yang menjadi awal dari kegaduhan politik pasca penunjukan Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri.
"Kedua, kita semua mahfum bahwa dalam hubungannya dengan partai, Presiden Jokowi bukanlah orang terkuat di dalam PDI-P, sebagaimana kita melihat beberapa waktu belakangan bagaimana proses yang sulit sejak pembentukan kabinet, pengisian jabatan struktural penting, kontroversi penunjukan Kapolri dan lain-lain," katanya.
Akan tetapi, menurut Phillips, semua pihak harus menyadari bahwa kekuasaan konstitusional tertinggi adalah di tangan presiden karena sistem presidensial yang kita anut. PDI-P pun mungkin adalah pihak yang amat sangat berkepentingan melihat keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK karena lima tahun ke depan adalah tahun pembuktian bagi PDI-P setelah 10 tahun menjalankan peran oposisi.
"Ketiga, konteks internasional juga menjadi penting karena situasi ekonomi dunia yang tidak menguntungkan. Amerika Serikat belum pulih sepenuhnya dari krisis ekonomi sejak 2008, Eropa pun sedang dilanda persoalan pelik terkait krisis ekonomi yang dialami beberapa negara Uni Eropa. Karena itu, target pertumbuhan ekonomi 7 persen yang diniatkan oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah sesuatu yang harus dicapai dengan kerja keras para menteri di kabinet dan juga seluruh," pungkas Phillips menganalisis beban kerja 100 hari pertama Jokowi.
(van/nrl)