"Mencermati dinamika politik hukum terkait pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang berkembang sangat cepat, dan bisa mengarah pada konflik di antara KPK dan Polri, maka kami dengan ini mengambil langkah untuk mendorong pengujian konstitusionalitas UU Polri, khususnya ketentuan yang membatasi Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri, karena harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (1) UU Polri Nomor 2 Tahun 2002," tulis Denny Indrayana dalam keterangannya, Kamis (22/1/2015).
Menurut Denny, berdasarkan perubahan UUD 1945, harusnya pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inilah sistem Presidensial zero prerogatif. Suatu, kesalahan sistem yang sangat mendasar. Untuk itu, agar sistem presidensial kita kembali ke khittahnya, maka dengan ini kami mendorong pengajuan konstitusionalitas persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri (Panglima TNI) ke Mahkamah Konstitusi," urai dia.
Denny mengajak masyarakat lewat gugatan ke MK UU itu untuk menyelamatkan Presiden, KPK dan Polri dengan mengembalikan hak prerogatif, sehingga sistem presidensial betul-betul sejalan dengan UUD 1945, dan Presiden dapat lebih leluasa mengangkat dan memberhentikan Kapolri.
"Tanpa terbatasi ataupun terbelenggu oleh kepentingan politik sesaat yang cenderung koruptif," tuturnya.
Permohonan gugatan akan didaftarkan pada Jumat (23/1) di Mahkamah Konstitusi. "Kami mengundang setiap orang, lembaga yang punya aspirasi yang sama dan legal standing untuk bergabung menjadi Pemohon pengujian konstitusionalitas ini. Mari kita selamatkan Presiden, KPK dan Polri dari politisasi. Mari Kita selamatkan Indonesia," tutup Denny dalam keterangannya bersama Saldi dan Zainal.
(ndr/mad)