Dengan terbata-bata Adeng bercerita kalau kelumpuhan itu menimpa dirinya pada 17 tahun lalu. Saat itu Adeng merasa sakit kepala, sakit pinggang kemudian pegal-pegal. Padahal sebelumnya Adeng sehat dan bisa bekerja sebagi tukang kebun di Bandung.
"Semakin hari langkah semakin berat, akhirnya seperti ini," kisah Adeng kepada detikcom, Rabu (21/1/2015)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak pertama ini waktu 16 tahun, habis ulang tahun sakit. Pusing, pegal-pegal, lalu langkah jadi berat," tutur Adeng.
Ternyata tak hanya Adeng dan Holidin saja, peristiwa serupa kemudian menimpa Devi. Saat itu Devi berusia 15 tahun.
"Devi juga sama, sering pegal-pegal. Lututnya sakit. Lama-lama seperti ini. Awalnya menyerang kaki dulu, terakhir bagian atas sampe mulut susah ngomong," terangnya.
Beruntung, anak ketiganya Sukma (18) yang saat ini tinggal bersama saudaranya di Bogor tidak mengalami hal yang sama.
Kondisi Adeng, Holidin, dan Devi saat ini sebetulnya tidak lumpuh total. Ketiganya masih bisa berdiri. Namun untuk berjalan, mereka tertatih-tatih dan harus menopang pada bambu.
"Enggak bisa lama-lama, kalau lama jatuh," ujar Devi sambil terbata-bata.
Sehari-hari untuk yang mencuci pakaian dan bersih-bersih rumah, Ridwan dibantu oleh tetangganya. Sesekali Ridwan mengangkat jemuran sepulang sekolah.
"Ada bibi (saudara) yang suka bantuin," ucapnya.
Ridwan biasanya memandikan ayahnya dengan cara menyeka tubuh ayahnya. Ia juga kerap menyuapi ayahnya. Sementara kedua kakaknya tertatih-tatih berusaha mengurusi badannya sendiri. Ridwan membantu jika kedua kakaknya kesulitan menggapai sesuatu.
"Kadang nyuapi bapak. Kalau aa sama teteh mah masih bisa sendiri. Teteh juga kadang masak tapi enggak bisa lama berdiri," tutur Ridwan.
(avi/ern)