Narkotika telah membunuh jutaan manusia saban tahun. Melahirkan generasi apatis. Menghilangkan rasa malu. Mengingkari peradaban. Merangsang tindak brutal di luar kesadaran. Dan barang ini dijadikan alternatif pelarian. Lari dari kenyataan hidup.
Berbagai bangsa juga tidak punya catatan bagus soal ini. Tiongkok kalah perang dengan Inggris di Perang Candu (1839-1842), Pangeran Diponegoro melemah akibat pasukannya ketagihan candu (James R Rush), dan di era global ini, tidak terkira banyaknya anak-anak muda yang linglung terjebak narkoba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaman ketika manusia masih sedikit, pemahaman tentang keberadaban masih se-tempurung kelapa, dan kuasa adalah secuplik wilayah yang lazim dinamai komunitas, maka narkotika adalah kebutuhan layak konsumsi. Teler adalah penyempurna bagi hidup yang tidak dinamis. Hidup nomaden, dan berburu jika lapar.
Ketika manusia semakin banyak, dan kuasa membengkak menjadi kerajaan atau sebuah negara, yang tumbuh kemudian adalah disharmoni. Manusia tidak lagi mengakrabi alam tetapi mengeksploitasi. Juga manusia terhadap manusia lainnya. Tidak salah jika Herbert Marcuse dengan pesimis menyebut, bahwa manusia ke depan itu adalah One Dimensional Man dalam bukunya.
Di Jawa, narkotika ini masuk diasumsikan pada abad XVI, dan tumbuh menjadi dagangan penting di abad XVIII. Bandar-bandar China berbagi pundi-pundi itu dengan Belanda, dan era teler itu menjamur di Pulau Jawa, minus Bandung, Banten dan Madura ( lihat peta dari The Charles TeMechelen Papers).
Bandar itu terstruktur di tiap daerah. Mereka menjadi orang-orang kaya yang memperjual-belikan candu. Raja dan pangeran mengkonsumsi ini, juga rakyat yang berkecukupan. Ketika pajak dan aturan dinaik-turunkan Belanda, barang ini tetap tidak sulit didapat. Candu selundupan mengalir sepanjang pantai utara Pulau Jawa, terbanyak dari Jepara, Jawa tengah (baca: Opium to Java).
Gengsi candu sebagai barang yang digandrungi sekaligus bernilai mistis itu terlacak dengan jelas dalam Gatoloco, karya sastra lama yang ditulis Ki Kalam Wadi (Ronggowarsito?). Sang tokoh merasa belum hidup sebelum menghirup asap setan itu. Candu disebutnya sebagai penyuplai energi dan pembangkit gairah. Untuk itu dia minta dibelikan candu sebelum berdebat dengan Kiai Kasan Besari yang mengundangnya.
Di kalangan spiritualis pun, candu adalah bagian yang tidak terpisahkan. Dalam banyak ritus, candu sering dihidangkan. Barang ini sebagai pelengkap tumpeng. Sebuah jamuan untuk βkekuatan di luar sanaβ, yang dipercaya bisa mengganggu dan mengusik jalannya ritual atau upacara jika tidak disedekahi. Namun apa kaitan dengan enam gembong narkoba yang kini βhidup di atas sanaβ?.
Narkotika itu adalah βbudayaβ masalalu yang banyak mudaratnya. Zaman ini manusia dihadapkan pada kompetisi ketat yang tidak memberi ruang bagi perusak bangsa. Jika ini dibiarkan akan mengulang βtragedi Chinaβ yang kalah perang akibat pasukannya teler karena narkotika. Atau betapa murahnya nilai kemanusiaan jika sedang kecanduan barang ini.
Masalalu kita (Jawa) yang pernah menjadi basis candu kini sudah menjadi sarang bandar narkoba internasional. Dari tahun ke tahun nampak, betapa barang haram ini semakin merajalela. Kendati kita tidak harus ketakutan mirip George Orwell dalam β1994β yang ternyata sekarang lumrah, tetapi jika tidak ada shock therapy, maka bangsa ini akan kehilangan kedaulatan.
Narkoba bukan hanya untuk berteler-teler ria an sich. Barang itu telah berubah menjadi senjata. Secara pseudo berfungsi sebagai alat menjajah. Terorisme kalah. Untuk itu jika pengedar barang ini tidak βdikerasiβ, tak terbayangkan, berapa lama lagi bangsa ini kembali terjajah. Ya, bandar narkoba memang layak dihukum mati.
*) Djoko Suud, pemerhati masalah sosial
(asy/asy)