"Berkaitan dengan eksekusi mati terhadap bandar/pengedar narkoba itu kita bisa memahami. Mereka telah menyebabkan terbunuhnya manusia, mayoritas generasi muda bangsa ini, 40-50 orang/hari (data BNN). Semoga ini memberikan kepastian hukum dan efek jera," ujar Manager Nasution dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Minggu (18/1/2015).
Manager juga berharap eksekusi mati tidak hanya terhadap bandar/pengedar narkoba dan teroris. Eksekusi mati juga hars dilakukan untuk penjahat koruptor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara kelembagaan, Komnas HAM melalui rapat paripurna 2014 merekomendasikan penghapusan hukuman mati. Sebab, hak hidup adalah yang tidak bisa dikurangi.
"Meskipun keputusan tersebut diambil secara dissenting opinion. Sebagai komisioner saya termasuk yang menyetujui hukuman mati untuk tindak pidana tertentu, seperti pembunuhan berencana, apa lagi terhadap perempuan dan anak. Termasuk bandar dan pengedar narkoba, pelaku teroris, penjahat koruptor dan penjahat kemanusiaan lainnya," ungkapnya.
Menurut Manager, betul bahwa hak hidup adalah hak yang tidak boleh dikurangi. Tapi dalam pasal 28 A-J UUD 45, sebuah hak boleh dibatasi dengan UU. Secara hukum, MK pada tahun 2007 telah memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Dengan demikian hukuman mati adalah konstitusional. Oleh karena itu, sebagai warga yang taat asas dan hukum, warga negara harus memahaminya," tuturnya.
Manager mengapresiasi ketegasan Presiden Jokowi untuk menolak grasi terpidana mati kasus narkoba. "Kita juga berharap Presiden Jokowi juga tidak mengampuni penjahat koruptor," tutupnya.
(mpr/mad)