Rani Hendak Dieksekusi, MK: Hukuman Mati Konstitusional

Rani Hendak Dieksekusi, MK: Hukuman Mati Konstitusional

- detikNews
Jumat, 16 Jan 2015 15:25 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Rani Andriani kini tinggal menghitung jam menghirup udara di bumi. Tidak berapa lama lagi, para eksekutor akan mengambil nyawa Rani karena menjadi gembong narkotika. Siapa nyana, Rani pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) meminta hukuman mati dihilangkan dari Indonesia.

Berdasarkan putusan MK yang dikutip detikcom, Jumat (16/1/2015), Rani mengajukan gugatan bersama dengan terpidana mati lainnya yaitu Edith Yunita Sianturi, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Mereka berempat meminta hukuman mati dilenyapkan dari bumi Indonesia dengan bantuan pengacara Todung Mulya Lubis. Apa kata MK?

"Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 ditolak untuk seluruhnya," putus majelis hakim pada 30 Oktober 2007. Adapun terhadap permohonan Myuran dan Andrew tidak diterima karena keduanya bukan WNI sehingga tidak memiliki hak hukum menggugat UU Indonesia. Keduanya merupakan warga Australia dan terkenal sebagai 'Bali Nine'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam putusannya, MK menyebut ancaman pidana mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945. Pemberlakuan hukuman mati dalam UU Narkotika juga tidak bertentangan dengan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) karena masuk kualifikasi 'the most serious crime'.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan 'Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan
syariat'.

"Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang," cetus majelis MK.

MK juga menyatakan secara perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM dalam Bab XA UUD 1945 tersebut.

"Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945," putus majelis.

Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 sejalan dengan
sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi:

In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.


(asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads