"Komitmen pemerintahan Jokowi luar biasa," kata hakim agung Prof Dr Surya Jaya saat berbincang dengan detikcom, Jumat (16/1/2015).
Lantas bagaimana arah kebijakan pemberantasan narkotika ke depan? Berikut wawancara dengan Surya Jaya, hakim agung yang telah berkali-kali menjatuhkan hukuman mati:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk memutus mata rantai peredaran, harus ada upaya melakukan rehabilitasi bagi penyalah guna. Tanpa upaya rehabilitasi, penyalah guna tidak akan berkurang. Pasti tidak akan berkurang. Kenapa harus diobati? Selain menjadi kewajiban aparat hukum melakukan rehabilitasi, juga penyalah guna tidak akan sembuh jika tidak direhab.
Bagaimana dengan UU sendiri?
Kelemahan UU, yang direbalitasi itu hanya yang menjadi kecanduan/ketergantungan atau menjadi korban penyalahgunaan. Sedangkan penyalah guna coba-coba, tidak direhabilitasi.
Kalau menurut saya, yang direhabilitasi juga selain orang yang kecanduan juga yang coba-coba pertama. Malah lebih bagus, efektif dan efesien, lebih awal ketimbang daripada yang kecanduan dan biaya murah dan kemampuan pulih kembali sangat tinggi. Jangan sampai orang mau mati, malah baru diobati.
Pemerintah baru saja membuat kesepakatan bersama tentang penanggulangan bagi penyalahgunaan narkoba. Bagaimana implementasinya?
Implemntasi peraturan itu butuh waktu, butuh sosialisasi agar aparat penegak hukum mengatasi, bagaimana penyalah guna narkotika diatasi dengan rehabilitasi. Dengan peraturan ini, saat penyidikan sudah diberitahu, orang ini penyalah guna atau bukan. Ini penyalah guna, ini bandar, ini bandar merangkap penyalah guna. Apakah nanti akhirnya direhabilitasi, ditentukan saat putusan.
Buktinya apa bahwa dia penyalah guna?
Hasil assesment, tandanya surat dari pihak terkait. Itu yg dipakai, menjadi dasar, 'Oh ini benar-benar penyalahguna'.
Mengapa masyarakat takut melaporkan sebagai penyalah guna narkotika?
Pertama, institusi penerima wajib lapor di rumah sakit jiwa, masuk RSJ jadi tidak enak.
Ada hasil penelitian, penyalah guna itu tidak mau wajib lapor karena lebih senang dipenjara. Mengapa? Karena ada yang bilang di LP lebih mudah mendapatkan. Oleh karenanya, LP juga harus steril, mengubah paradigma, LP harus disterilkan.
Ada cara lain untuk menyelamatkan penyalah guna selain rehabilitasi?
Mengubah mindset, penyalah guna bukan penjahat yang harus dihukum berat tapi dia pelaku juga merangkap sebagai korban, pelaku dan penderita.
Tapi di aparat, belum jelas kriteria apa itu penyalah guna. Apakah penyalah guna saat dia memakai? Sedang memakai lalu kita tangkap ia penyalah guna? Bagaimana ia makai, simpan dan ketahuan? Itu yang harus disatukan dulu. Itu yang membuat problem pencegahan penyalah guna belum ada.
Apa kriteria penyalah guna?
Pertama, kita periksa urine, tidak bisa kebantah lagi. Kalau positif, apa ia bukan penyalah guna? Masalahnya, banyak tidak diperiksa urine. Padahal itu harus diperiksa karena mau langsung pasal 112,113 dan 114 UU Narkotika.
Kedua, jumlah tidak boleh terlalu besar. Kepantasan menurut SEMA 3/2011 tidak boleh dari 1 gram sabu, ganja 5 gram, ekstasi 8 butir.
Ketiga, dibeli secara patungan. Satu siapkan bong, satu pergi beli, masak mau dianggap pengedar?
Kalau ini berhasil, saya kira program pemerintah bisa walaupun tidak 100 persen betul-betul, tapi optimis. Tinggal kemampuan pemerintah melakukan sarana-sarana, karena jumlahnya besar. Ini harus serius. Indonesia sudah dalam keadaan darurat narkotika. Ini taruhan masa depan bangsa. Ini menyangkut soal generasi.
Bagaimana dengan pengedar dan gembong narkoba?
Tidak ada toleransi. Aset pelaku narkotika harus disita dirampas untuk negara. Kalau dia masih punya aset, dia masih bisa kendalikan dari balik penjara. Makanya untuk membuat jera, itu tidak hanya hukuman berat tapi juga asetnya disita, termasuk dimiskinkan untuk memutus mata rantai peredaran.
(asp/nrl)