Kita tahu pengelolaan dana alokasi desa (DAD) dari APBN untuk desa yang bakal dikucurkan rata-rata per desa mendapatkan sebesar Rp 600 sampai Rp 750 juta rupiah. Agar tidak dipolitisasi pihak-pihak yang berkepentingan, UU ini mengantisipasinya dengan mensyaratkan agar transfer dana ke desa dititipkan ke kabupaten (transit), kemudian diakses oleh desa. Perlu dicatat, DAD itu, sesuai semangat UU Desa, merupakan hak desa, bukan hak kelola kementerian.
Secara substansi, soal pemilahan pengaturan sistem administrasi desa, pemerintahan, pelayanan publik, infrastruktur, dan seterusnya sebenarnya tidak sulit ditata dengan peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri, sampai dengan peraturan daerah (perda) turunan yang koheren. Kuncinya pada komitmen membangun desa secara utuh, terintegrasi, sehingga penyusunan penyesuaian supporting system tidak sulit dilakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mari kita tengok apa cita-cita UU Desa ini. Tujuan utamanya adalah pembaruan perspektif, orientasi dan tata kelola menuju desa yang mandiri, demokratis, dan sejahtera. Jika masa lalu desa selalu dijadikan obyek eksploitatif oleh supradesa dengan risiko kemiskinan dan marginalisasi, kini, di zaman pemihakan pada pelayanan rakyat, desa dijadikan sebagai subyek pembangunan. Memberikan kewenangan desa untuk mengatur dirinya, sebagai cerminan gerakan emansipasi lokal dalam hal mengelola sumber daya yang dimiliki dan hak yang melekat berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Undang-undang ini juga menekankan agar desa, sebagai kekuatan bawah dan pilar demokrasi kewargaan di akar rumput (grassroots), yang direpresentasikan pada sistem pengambilan keputusan yang partisipatif, menyusun perencanaan pembangunan sesuai kebutuhan, serta ada check and balances agar tidak disalahgunakan kewenangan itu untuk memperkaya elite desa. Melalui pemberian pengakuan (recognition) negara pada desa dengan hak-haknya, di situ sebagai cara negara hadir dan memperlakukan desa secara manusiawi dan berdaya. Apalagi, di era demokrasi ini, penghargaan corak lokalitas tanpa penyeragaman sangat diperlukan, menggambarkan nasionalitas desa dengan segala keragaman tradisi.
Jika desa punya kewenangan, kemampuan, dan tradisi yang kuat, desa diharapkan tidak βtergantungβ dari supradesa. Jika skema ini berjalan dengan baik, kemungkinan akan mampu mengakhiri βpermainan semu bertajuk musrenbangβ atau proyek-proyek semacam bansos (bantuan sosial), yang selama ini rawan diselewengkan elite nasional dan daerah. Bahkan transformasi desa serta pembenahan sistem penyelenggaraan pembangunan lokal tersebut bisa menutup proyek PNPM sekalipun demi menata sistem desa yang lebih baik dan terlembaga.
Kekacauan yang sudah lama dalam sistem perencanaan pembangunan, yang diawetkan pemerintah dan pemda begitu fragmented, ditandai ekspresi egosektoral, secara bertahap dapat dihentikan. Itulah yang dimaksudkan dengan konsolidasi pembangunan, dengan mendasarkan hak kewenangan desa, arus aspirasi, dan kebutuhan desa.
Apa tantangan yang harus dijawab? Setelah setahun sejak terbit UU awal 2014 lalu, seharusnya segera disiapkan tahapan implementasi. Sehingga, pada 2015 ini siap beroperasi. Misalnya saja dengan menyusun road map. Di dalamnya dijalankan agenda peningkatan kapasitas berbagai hal, mulai dari kemampuan aparatnya dalam pelayanan publik, perencanaan pembangunan, tata kelola keuangan yang accountable, penyediaan infrastruktur, perubahan mindset pemberdayaan. Poin penting sebagai jiwa UU Desa ini adalah memberi makna partisipasi warga yang aktif dan kritis. Itu pula sebagai orientasi ke depan membangun pendekatan active citizen.
Mengamati dan mengikuti perkembangan sejauh ini, berbagai komponen yang memberi perhatian implementasi UU Desa makin giat menyambutnya. Sekalipun kualitas responsnya berbeda-beda. Sebut saja, misalnya, inisiasi akademisi, dinamika aktivis LSM, dan rencana para relawan desa semarak mengawal UU Desa. Kini mulai disiapkan rencana sekolah desa, training peningkatan kapasitas, diskusi dan debat mengupas implementasi UU Desa, bahkan perangkat praktis panduan kerja yang diperlukan.
Begitu pula sebagian pemerintah daerah, provinsi, dan kabupaten juga bergairah karena sebagian telah mempersiapkan, memperbaiki integrasi perencanaan pembangunan, mengupayakan peran supervisi kepada desa sebagaimana mandat regulasi. Termasuk menyiapkan kebijakan turunan di daerah-daerah agar operasional. Namun masih banyak pula kabupaten dan provinsi yang masih pasif, serta sebagian birokrat kabupaten yang menakut-nakuti desa dengan segala manuvernya.
Gambaran di atas selayaknya dipahami sebagai geliat lokal menyambut UU Desa yang begitu positif. Dalam situasi semacam ini, peran proaktif pemerintah untuk konteks ini adalah kementerian terkait sangat diperlukan. Bukan malah sibuk rebutan kewenangan untuk urusan teknokratik. Kembalilah pada khitah bahwa UU Desa ini bukan untuk ajang politik kementerian dan arena para birokratnya.
Agar semangat konsolidasi penanganan desa terintegrasi dan utuh, pengelolaannya masuk tanggung jawab kementerian khusus, yakni Kemendesa PDT, sementara kementerian lainnya hanyalah pendukung. Kita tidak boleh mengorbankan agenda rakyat desa hanya karena tarik-menarik kepentingan politik elite kementerian.
*) Arie Sujito, Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta, sejak 2013 dan Tim Pengawal Implementasi UU Desa, IRE, Yogyakarta.
*) Artikel ini sudah dimuat di Majalah Detik edisi 163
(nwk/nwk)