Dua kali perundingan, dua kali pula berakhir deadlock. Kedua kubu tak ada yang mau mengalah, kalangan pemerhati politik melihat perundingan ini hanyalah kiasan, tapi ambisi kekuasaan kedua pucuk pimpinan belum bisa dinego, nasib beringin pun semakin terhuyung dihempas angin perpecahan.
"Percuma kalau dua kubu kayak begitu. Itu semu, kiasan, basa basi saja. Jadi, mereka sendiri yang bikin perundingan itu seperti palsu," kata pengamat politik dari LIPI Siti Zukhro kepada detikcom, Jumat (9/1) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada sejumlah hal yang membuat keduanya sulit dipersatukan. Kedua kubu belum mau 'turun harga' soal beberapa hal seperti posisi Golkar di KMP. Selain itu kubu Agung Laksono juga menolak mencabut gugatan, meskipun islah tengah digalang.
Terakhir, persoalan yang belum mencapai titik sepakat, adalah perkara penafsiran keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait perselisihan partai ini. Kubu Ical menafsirkan kepengurusan hasil Munas Riau 2009-lah yang sah, dengan kata lain Ical masih menjadi Ketum dan Idrus Marham masih menjadi Sekjen. Tentu saja kubu Agung menganggap kepengurusan hasil Munas Jakarta adalah yang sah, yakni Agung Laksono sebagai Ketum dan Zainudin Amali sebagai Sekjen.
Hal ini semakin membuat Ketua Wantim kubu Ical, Akbar Tandjung, khawatir bakal lahir partai sempalan baru. Apalagi kubu Aburizal juga mengancam akan menggugat kubu Agung Laksono ke pengadilan.
Akbar sebenarnya lebih mendukung islah ditempuh melalui munas bersama agar tak terbentuk 'Golkar Perjuangan'. Jika diselesaikan melalui pengadilan, bukan tidak mungkin pihak yang kalah mendirikan partai baru. Sejarah mencatat beberapa partai seperti NasDem, Hanura, dan Gerindra, lahir setelah dinamika politik di Golkar.
"Mengakibatkan Golkar pecah, bisa mengarah terbentuknya partai baru," ingat Akbar soal risiko besar yang menghantui partai beringin tersebut.
Lalu bagaimana babak akhir kisruh Golkar?
(van/trq)