Belakangan diketahui, yang menjadi korban ternyata tidak hanya kartunis, jurnalis dan polisi, namun beberapa warga pun terluka. Para pelaku yang mengaku dari Al Qaeda ini--seperti yang terlihat dalam video amatir, sangat terlatih menggunakan senjata laras panjang.
Ketika melakukan aksi tembakan terakhir terhadap polisi beragama Islam, Ahmed Merabet, pelaku jelas terlihat sangat terampil ketika mengarahkan laras AK di di kepala sang Polisi. Hebatnya, tak sampai 24 jam setelah peristiwa brutal ini, “Densus Perancis” pun “meringkus” dua dari tiga pelaku. Salahsatu pelaku dikabarkan menyerahkan diri. Dari ketiga teroris, dua pelaku tergolong dewasa, yakni Said Kouachi (34) dan Cherif Kouachi (32), serta satu lagi yang ikut bersembunyi bersama keduanya, yakni Hamyd Mourad (18) masih berusia muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, Pesan untuk Dunia Luar tentang Karakter ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Pasca Al Qaeda tumbang, kini ada ISIS. Keduanya pun, tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya. Kini, dari berbagai laporan media internasional maupun laporan media di Indonesia, tampak sekali ada penggiringan opini publik besar-besaran bahwa penyerangan brutal ini adalah ekspresi puncak kekesalan militan Islam terhadap majalah tersebut.
Di mana, setelah kesekian kali bahkan bertahun-tahun majalah itu memuat kartun hinaan pada Nabi Muhammad SAW, maka penyerangan brutal pun berlangsung. Ada semacam penggalangan opini bahwa penyerangan ini terkait finalisasi serangan yang pernah gagal pada tahun 2011 oleh para terduga teroris. Sekedar diketahui, kantor yang sama, pernah dilempar bom untuk membunuh Pemimpin Redaksi, Sthepane Charbonniere. Pada peristiwa ini, Charb berhasil lolos dari maut, sebelum akhirnya meminta perlindungan polisi.
Jika dirunut dari kronologinya, maka asumsi itu sepertinya benar. Sebuah Kantor Media yang rajin menghina Sosok Besar Umat Islam--Nabi Muhammad SAW, akhirnya diserang membabibuta hingga terjadi pertumpahan darah. Analisa ini, jika dilihat sekilas, menjadi analisa paling masuk akal.
Apalagi, suasana dunia yang sedang demam “Anti Kekerasan Atas Nama Agama”, dan Anti ISIS, seolah kekejian ini menjadi pelengkap batin untuk menyimpulkan bahwa para militan Islam terutama kaki tangan Al Qaeda dan ISIS, akan melakukan apapun untuk membalas atas penghinaan yang dilakukan Charlie Hebdo terhadap Nabi Muhammad. Dengan demikian, lengkap sudah dunia melabel ISIS.
Apalagi dalam setahun terakhir, ISIS telah sukses diperkenalkan kepada dunia sebagai kelompok Militan Islam yang sadis, brutal, dan tidak manusiawi di muka bumi dalam rangka pendirian Islamic State (Negara Islam). Peristiwa Perancis, seolah menjadi sejarah pelengkap sejarah ISIS di awal 2015, bahkan pesan ini diperuntukkan bagi seluruh dunia. Dalam serangan kali ini, tewasnya polisi beragama Islam bernama Ahmed, bahkan sering menjadi topik utama. Diskusi di jejaring sosial, berita media massa, maupun opini yang berkembang akhirnya menyiratkan pesan bahwa para militan Islam yang mengaku sebagai Al Qaeda atau ISIS, benar-benar tega mengeksekusi polisi Perancis yang beragama Islam sekalipun. Bahkan, eksekusi tersebut, direkam video amatir dengan jelas. Pesan yang ingin disampaikan adalah, jika ingin tahu ISIS yang sebenarnya, lihatlah di Perancis saat ini.
Kedua, Pesan untuk Media Penghina Islam. Memang ada yang luput. Berbagai analisa ternyata buru-buru mengarahkan peristiwa ini pada fenomena ISIS. Atau setidaknya dengan mudah mengaitkan ini dengan kelompok Al Qaeda, hanya karena konon para pelaku mengaku dari Al Qaeda. Dengan opini yang selama beredar bahwa baik Al Qaeda maupun ISIS adalah dua organisasi teroris terkemuka dunia, maka keterkaitan serangan brutal dengan Al Qaeda dan ISIS pun, dengan mudah dipublikasikan.
Padahal, hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, jelas tidak hanya melukai Al Qaeda maupun ISIS, namun perlakuan nekat dengan menghina Junjungan Besar Rasulullah SAW adalah sama dengan menghina seluruh Umat Islam di dunia. Jika hanya menghina ISIS atau menghina Al Qaeda, bisa jadi yang marah hanyalah dua kelompok itu. Namun jika Majalah Charlie Hebdo menghina Muhammadi SAW, siapa yang pantas marah?
Yang pantas marah adalah seluruh Umat Islam. Lebih parah lagi, kemarahan mungkin tidak hanya ditujukan kepada Majalah Charlie Hebdo dan awak redaksinya, namun kemarahan juga ditujukan kepada Perancis yang terus membiarkan majalah tersebut melakukan hinaan terhadap Komunitas Islam seluruh dunia.
Yang mengerikan, kemarahan-kemarahan ini ternyata lebih banyak disimpan dalam dendam, namun tidak diekspresikan dalam aksi teror di lapangan. Jika mau, bisa saja Prancis membuka situasi yang ada. Namun, hal itu tidak dilakukan. Wajar jika, efek dari akumulasi dendam kepada Prancis, selama ini memang tidak terdengar oleh dunia. Hal ini juga karena kelihaian media Prancis yang tidak mau mengobral informasi intelijennya kepada dunia luar.
Saya kira, situasi ini sudah diprediksi oleh Prancis. Melalui Direction Generale De La Securite Extereure/DGSE (Badan Intelijen Perancis Luar Negeri) atau malah The Central Directorate of Interiori Intelligence/DGRI (Badan Intelijen Perancis urusan Domestik), Prancis sudah melakukan mapping kerawanan keamanan nasional terkait kebebasan berekspresi Majalah Charlie Hebdo dan kemarahan dunia Islam.
Serangan perdana pada tahun 2011 terhadap kantor majalah itu, jelas tidak begitu saja membuat mereka tenang. Seperti halnya BIN di Indonesia, DGSE & DCRI juga memiliki kewenangan sangat luas untuk menjaga stabilitas keamanan nasional Perancis. Mereka bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan kontra spionase, kontra terorisme untuk melawan militan-militan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Jika dilihat dari kecepatan aparat Perancis menangkap para pelaku, apalagi ada yang tewas, maka boleh dikatakan bahwa, Satuan Intelijen Prancis telah mengetahui rencana serangan itu. Belajar dari kasus serangan bom tahun 2011, bisa saja pihak intelijen akhirnya harus memberi pelajaran pada para kartunis dan kantor majalahnya. Karena, dalam catatan saya, ternyata majalah tersebut tidak hanya rajin membully Islam, namun juga rajin membully Yahudi dan Paus Benedictus XVI.
Setahun sebelum serangan perdana 2011, majalah tersebut nekat membuat cover yang menggambarkan Paus memegang kondom. Setahun kemudian, yakni 2012, majalah ini juga melakukan sindiran-sindiran dan tuntutan kepada Prancis agar menutup kedutaannya maupun kantor-kantor kebudayaannya di berbagai negara di berbagai Negara terkait isu-isu Yahudi. Tahun 2013, majalah ini juga dilaporkan ke Pengadilan karena menghina Islam dengan menyebut Al Quran hanyalah sampah! Dengan kondisi ini, sesungguhnya musuh majalah ini bukan hanya militan Islam saja, melainkan juga militan dari komunitas agama lain.
Jadi, dalam sejarahnya, Charlie Hebdo nyaris tidak pernah sepi dari aktifitas penghinaan kepada semua agama dan komunitas keyakinan sedunia. Meski kebanyakan menghina Islam, namun tidak menutup kemungkinan intelijen Prancis mencium gelagat yang tidak baik terkait keamanan negerinya. Oleh karena itu, peristiwa serangan kali ini, bisa menjadi cara terakhir mengakhiri ketololan—kalau boleh saya sebut demikian, Majalah Charlie Hebdo yang terus menerus melakukan karya penghinaan kepada Muslim dan sebagian Yahudi dan Nasrani, di mana majalah tersebut sama sekali tidak mempedulikan akibatnya secara nasional.
Dari misi “Menutup Peluang Penghinaan Berikutnya” ala intelijen inilah, besarnya jumlah korban, yang mungkin tidak bisa diprediksi intelijen Prancis. Bocoran-bocoran permulaan serangan, mungkin sudah diterima. Sebelumnya, saya kira juga sudah ada. Tetapi kepandaian satuan intelijen dalam memainkan peran, menyebabkan aksi tidak sampai berhasil hingga prosentase 100.
Hanya saja kali ini berbeda. Jika dilihat dari kecepatan aparat menangkap para pelaku, membuktikan bahwa intelijen Prancis sudah memiliki petunjuk yang cukup lengkap terhadap kelompok militan yang akan melakukan serangan. Ada kemungkinan, intelijen dan aparat kecolongan atau mungkin membiarkan para pelaku bekerja, dan di sisi lain juga memberikan kode kepada aparat agar memburu para pelaku tersebut sebelum kejadian. Sayangnya, para teroris telah berhasil beraksi terlebih cepat, sebelum aparat akhirnya menangkap mereka.
Meski demikian, dari analisa di atas, kerja intelijen di manapun tidak bisa ditebak. Hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, aksi-aksi teror memang kadang ada peristiwanya, ada barang buktinya, ada pengakuannya. Namun apakah itu benar sebagai aksi teror murni atau bukan, tentu hanya intelijen yang tahu. Wallahua’lam.
*) Mustafa B Nahrawardaya adalah Peneliti Terorisme & Aktifis Muda Muhammadiyah.
(nwk/nwk)