Mahkamah Konstitusi (MK) membuka keran Peninjauan Kembali (PK) bisa dilakukan berkali-kali. Akibatnya, gembong narkoba menggunakan putusan itu untuk menghindar dari peluru eksekutor.
Keran PK bisa dilakukan berkali-kali dibuka atas permintaan Antasari Azhar lewat putusan nomor 34/PUU-IX/2013 pada 6 Maret 2014. Putusan yang dibuat Akil Mochtar dkk itu didasari asal keadilan yang menjadi hak asasi manusia bahwa warga negara mempunya hak asasi untuk tidak dikekang kebebasannya atas apa yang tidak pernah dibuatnya.
"Upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan namun upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian, karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum," putus sebagaimana dikutip detikcom dari website MK, Selasa (6/1/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut Mahkamah, jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi, maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum, sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan," putus MK.
Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang.
"Dalam kasus a quo, tidak ada pelanggaran terhadap prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, karena pemohon tidak diperlakukan berbeda dengan semua warga negara lainnya," putus majelis yang diketuai Mahfud MD dalam perkara nomor 16/PUU-VIII/2010.
Perkara itu dimohonkan oleh Herry Wijaya yang memberikan kuasa hukum kepada Farhat Abbas dan diputus 14 Desember 2010. Duduk sebagai anggota majelis yaitu Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Harjono, M Alim, Arsyad Sanusi, Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi dan Maria Farida Indrati.
MK menyatakan adalah hak setiap orang untuk mencari dan mendapat keadilan dijamin oleh konstitusi. Tapi hak tersebut tidaklah bersifat mutlak, melainkan dapat dibatasi menurut ketentuan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan PK hanya sekali juga tidak bersifat diskriminatis sebagaimana dimaksud Pasal 29U ayat 2 UUD 1945 karena pembatasan tersebut berlaku secara objektif kepada semua warga negara dalam penegakan hukum di pengadilan.
"Pembatasan ini dimaksudknan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali secara berulang-ulang," ucap majelis hakim dengan suara bulat.
Lagipula, pembatasan ini sejalan dengan proses peradilan yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
"Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakiibatkan berlarut-larutnya pula upaya memperoleh keadilan yang pada akhirnya justri dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan dalam adagium justice delayed justice denied," ujar MK.
Atas dasar itu, maka menurut MK pengaturan PK hanya sekali yang tersebar dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung dan UU KUHAP tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1, pasal 28H ayat 2 dan pasal 28 I ayat 2 UUD 1945.
Namun pendapat berubah 4 tahun setelahnya. Usai Mahfud MD purna tugas dan Akil Mochtar naik menjadi Ketua MK, pendapat MK berubah. MK membuka keran PK berkali-kali.
(asp/van)